Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengheningkan Kata

28 April 2016   11:20 Diperbarui: 28 April 2016   12:04 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning" -Jean Baudrillard

Kita melewati tiga tahun yang mengawetbagikan banyak sekali kesaksian, wahai Kata. Kesaksian yang tumbuh dari peristiwa sehari-hari dari dunia yang tumpang tindih, modern tidak, tradisional enggan. 

Kesaksian kita adalah cuplikan riwayat desa, sungai, hutan serta hidup jelata yang terseok melaluinya. Juga tentang kota yang tumbuh mengangkasa dengan keangkuhan konsumerisme yang ringkih namun tetap memelihara dirinya dengan meminggirkan mereka yang kurang beruntung. Juga sesekali tentang politik yang makin mirip perayaan selebritas serta kehidupan budaya (digital) yang terus gaduh sembari mengawetkan "mentalitas pemandu sorak". Kau dan aku mencoba berdiri dalam rangkai peristiwanya, menyusun cerita yang selalu memaksa menunda lupa dan menentang kemungkinan diri menjadi bagian dari jenis yang ngehe dan reaksioner.

Wahai Kata, tapi akhir-akhir ini ada semburat kemuakan yang serius sesudah membaca lagi segala yang tertulis satu per satu. Puncaknya rasa muak itu menghadirkan dangkal makna yang mengejekku bersama senyumnya yang lebih sinis dari Joker atau lebih bulat dari wajah Jean Baudrillard.

Aku seperti bercermin pada narasi yang makin sama. Kalau bukan berulang. Aku melihat diriku di depan ide yang makin kering kerontang. Aku juga menyaksikan diriku megap-megap di dalam kejumudan pikiran yang semakin sibuk mengomentari permukaan sebuah peristiwa. Wahai Kata, aku telah menjadi dangkal dalam era yang disebut merayakan kedangkalan dimana suka dan kapan saja. Aku telah sewujud kedangkalan itu sendiri.

Benar, aku telah lupa untuk merawat jarak terhadap peristiwa dan gairah untuk menuliskanmu menjadi cerita. 

Aku pikir dengan berpuasa di era digitalisme dengan hanya bergiat sehari-hari di sini maka boleh menjalani “praktik diet informasi” terhadap gelombang tsunami media massa, ternyata tidak. Sama juga terhadap kegairahan menggunakanmu yang sudah seperti candu, jika tak kulakukan, aku sakit. Gairahku menggunakanmu setiap hari kini telah jatuh kepada sikap asal-asalan yang justru sejatinya adalah sikap melecehkan kamu. 

Menghargai dengan cara melecehkan, itulah aku. Ironis. Lalu, bagaimana aku bisa memperbaiki ini semua, Kata?

Satu-satunya adalah dengan mengajakmu bertualang menuju lokasi yang lebih terhormat.

Tiga tahun yang sudah kita lewati ini sebaiknya dipahami saja sebagiai madrasah yang mendisiplinkan aku dan kamu agar menjadi terbiasa membentuk cerita. Terbiasa meniru dan terbiasa pula menyebarkannya. Apa yang merupakan hasil dari madrasah menulis tetaplah sebuah monumen dari cintaku kepadamu, Kata.

Sesudah ini, aku akan mengajakmu menempuh jalan yang lebih hening untuk menghentikan kedangkalan dan sikap asal-asalan. Kita berdua akan menarik diri dari gemuruh digitalisme dengan menelisik lagi seluruh pencapaian (gairah) menulis dan rencana-rencana yang tertunda. Aku berharap dengan jalan hening boleh lebih tajam melihat sinar kecil yang memanggil pada kemungkinan pencapaian sesuatu yang baru atau segar. Pencapaian yang selama ini terabaikan atau ditunda-tunda demi membenarkan alasan yang bodoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun