Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menelisik Figur Ayah Dalam Lagu

10 April 2015   21:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada malam yang jauh dari hingar bingar, saya memutuskan menghidupkan laptop dan mendengar lagu. Yah, sekedar menggenapi sunyi. Secara sengaja saya memilih lagu berjudul Ayah ciptaan Ebiet.G. Ade, Rinto Harahap dan grup band Koes Plus. Mungkin kita bisa bersepakat dalam rentang tahun 1980an hingga kesini, lagu Ayah ciptaan ketiga musisi ini kiranya sudah masuk daftar legendaris. Khusus pada jalur musik Pop, feeling saya, kita masih akan kesulitan menemukan lagu Ayah yang begitu –meminjam bahasa Ebiet—menikam cinta paling dalam sebagaimana suasana batin dikandung tiga lagu ini.

Lalu dari pendengaran saya atas tiga lagu tersebut, muncul pertanyaan sederhana, seperti apakah figur ayah dihadirkan dalam tiga lagu tersebut ?. Ayah seperti apa yang “dikonstruksi” oleh Ebiet, Rinto dan Koes Plus ?.

Pertanyaan ini saya maksudkan untuk memeriksa bagaimana sosok Ayah dimaknai dan disampaikan pada pendengar. Ketiga lagu tersebut, menurut saya, adalah teks tentang figur Ayah yang akan selalu hidup di zaman jenis apa pun. Saya tidak tahu, pada hari ini,berapa banyak musisi yang menjadikan figur Ayah sebagai inspirasi. Yang hendak saya lihat secara sangat terbatas adalah kekuatan pesan dalam lirik yang membuat lagu tersebut seolah abadi.

Untuk melihat konstruksi Ayah pada tiga lagu tersebut, saya mulai dengan menyelami kata-demi-kata yang membentuk lirik Ayah. Kita bisa memulai dari Ayah milik Rinto Harahap, legenda musik Pop Indonesia yang belum lama berpulang. Berikut lirik lengkapnya :

Dimana akan ku cari, Aku menangis seorang diri. Hatiku selalu ingin bertemu. Untukmu aku bernyanyi. Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku. Ayah dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi. Lihatlah hari berganti namun tiada seindah dulu. Datanglah aku ingin bertemu. Untukmu aku bernyanyi.

Selanjutnya, yang kedua adalah lagu Ayah-Koes Plus. Saya kutipkan seluruh liriknya :

Ayah, betapa ku agungkan betapa ku harapkan. Ayah betapa kau berpesan betapa kau doakan. Ayah betapa pengalaman dahulu dan sekarang. Ayah rambutmu tlah memutih cermin suka dan sedih. Ayah ceritakan kembali riwayat yang indah waktu dahulu. Ayah ku tak akan bosan mendengar riwayat waktu kau muda perkasa. Ayah kau dapat merindukan kau dapat mengenangkan. Ayah waktu terus berlalu sampai ke anak cucu.

Dan, lagu terakhir adalah Ayah milik Ebiet. G Ade, lirik lengkapnya :

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa. Benturan dan hempasan terpahat di keningmu. Kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras namun kau tetap tabah. Meski nafasmu kadang tersengal memikul beban yang makin sarat kau tetap bertahan. Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan. Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari kini kurus dan terbungkuk. Namun semangat tak pernah pudar. Meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia. Ayah dalam hening sepi ku rindu. Untuk menuai padi miliki kita. Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan. Anakmu sekarang banyak menanggung beban.

Ketiga lirik lagu ayah saya tuliskan kembali sambil mendengarkannya berulang kali. Pertemuan lirik dan nada dalam lagu Ayah memiliki daya menikamnya sendiri yang tak bisa maksimal diresapi hanya dengan membaca teksnya saja. Maka saran saya, sebaiknya artikel ini dibaca sembari tiga lagu Ayah didendangkan. Hehehe.

Konstruksi Ayah Dalam Tiga Kesadaran

Mari kita lihat konstruksi Ayah pada lagu Rinto Harahap.

Ayah adalah sosok atau karakter yang sudah pergi. Ayah yang dirindukan setengah mati oleh seorang anak. Ayah yang jelas tidak terganti. Tidak ada konteks lain yang dihidupkan Rinto Harahap selain kerinduan yang abadi untuk ayah yang selalu dicari. Disini, ayah adalah ayah yang nostalgis, yang hidup dalam kenangan [ seperti tercermin dalam lirik Hatiku selalu ingin bertemu. Untukmu aku bernyanyi]. Ayah seperti ini tidak pernah mati, ia hidup abadi, dalam lagu, air mata, dan pencaharian.

Sedang pada Koes Plus, konstruksi Ayah sudah memiliki dimensi yang belum diungkap secara spesifik oleh Rinto Harahap. Apa dimensi lain yang diungkap Koes Plus itu ?.

Pada hemat saya, dimensi itu adalah Ayah yang historis. Ayah Koes Plus adalah ayah yang memiliki riwayat perjuangan, ayah yang memiliki masa lalu dalam pergulatan, bukan masa lalu yang ringan dan ongkang-ongkang kaki. Ayah historis adalah ayah yang dapat menjadi kebanggaan dan spirit untuk menjalani masa kini. Ayah historis juga adalah ayah yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi perjalanan anak-cucunya [seperti tercermin pada lirik Ayah ku tak akan bosan mendengar riwayat waktu kau muda perkasa].

Sementara, pada hemat saya, Ayah dalam konstruksi Ebiet G Ade adalah bukan ayah yang telah pergi (nostalgis) atau ayah yang dihidupkan dari masa lalu sebagai ‘tipe ideal’ (historis). Ayah pada Ebiet adalah ayah yang sama-sama menjalani hidup kekinian. Ayah dan anaknya sama-sama dalam pergulatan, sama-sama menjalani hidup. Bisa jadi, ayah yang dimaksud oleh Ebiet adalah ayah yang dialektis; yang kehadirannya menjadi tenaga produktif membentuk anak yang juga telah menjadi ayah pada hidupnya sendiri [tercermin dalam lirik : Ayah dalam hening sepi ku rindu. Untuk menuai padi miliki kita. Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan. Anakmu sekarang banyak menanggung beban].

Dari teknik pembacaan yang sangat sederhana berbasis pada susunan lirik dari ketiga lagu tersebut, saya melihat perbedaan konstruksi Ayah dalam imajinasi Rinto Harahap, Koes Plus dan Ebiet G Ade. Pada Rinto, sosok Ayah adalah Ayah nostalgia, pada Koes Plus, ia adalah Ayah historis, dan pada Ebiet, Ayah yang diimajinasikan adalah Ayah dialektis.

Selain konstruksi ayah yang berbeda-beda, secara lirik, kita bisa juga melihat perbedaan yang cukup menarik. Ayah pada Rinto Harahap adalah ayah yang harus ditemui secara langsung, Rinto tidak terlalu pentingkan “berpuisi atau berfilosofi”. Ayah adalah kerinduan yang langsung ke sumbernya. Nuansa ini bisa ditangkap langsung pada lirik pembuka Ayahnya: Dimana akan ku cari, Aku menangis seorang diri.

Sedangkan, pada Koes Plus, Ayah adalah kehadiran yang mulai mengalami “proses filosofis”. Ayah adalah nilai dari masa lalu, ayah adalah cermin yang harus diambil kisah pergulatannya. Masa kini perlu mengambil pelajaran dari Ayah bagi perjalanan hidup anak cucu. Simak saja lirik ini : Ayah ku tak akan bosan mendengar riwayat waktu kau muda perkasa.

Pada konstruksinya Ebiet, Ayah sungguh menjadi lirik yang “puitis-filosofis”. Ebiet memasukkan perlambang-perlambang yang menarik. Misalnya pada lirik : Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa. Benturan dan hempasan terpahat di keningmu !. Menyelami ayah dalam konstruksi Ebiet adalah ayah yang dihadirkan dengan sedemikian puitis-filosofis, ciri yang tidak ditemukan pada lirik Rinto Harahap dan Koes PLus.

Demikian sedikit catatan yang bisa saya ceritakan dari tiga lagu Ayah. Pembedaan yang saya buat, seperti “Ayah yang nostalgis”, “Ayah yang historis” pun “Ayah dialektis” jelas adalah pembedaan yang secara konseptual masih terlalu kasar. Namun sengaja saya lakukan untuk menekankan dimensi berbeda dari tiga lirik lagu Ayah yang sebenarnya berangkat dari suasan ruang batin yang sama yakni kerinduan yang abadi.

Pendengar yang menyimaknya akan dibawa pada dimensi kenangan yang berbeda-beda. Kenangan pada ayah yang telah pergi, pada ayah yang kini tinggal kisah masa lalu yang bertutur, dan ayah yang masih sama-sama berjuang menantang keras hidup. Tiga jenis konstruksi ayah seperti ini, menurut saya, akan selalu memiliki pendengarnya. Apalagi pendengar yang menempati lapisan bawah masyarakat. Mereka yang hidup bersama kerasnya pergulatan berikut kegetirannya yang khas, seperti di pasar, terminal, dan perkampungan padat dan kumuh.

Pertanyaannya sekarang, untuk generasi musisi hari ini, mampukah mereka menghidupkan lagi sosok Ayah yang melampaui kekuatan pesan pada tiga lagu ini ?. Mungkinkah musisi hari ini melampaui daya pikatnya yang masih terus bertahan ?.

Semoga bermanfaat. Selamat Malam Kompasianer.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun