Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membincangkan Mukidi, Membincangkan "Kemanusiaan" Kita

31 Agustus 2016   10:45 Diperbarui: 31 Agustus 2016   13:38 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

- When humor goes, there goes civilization - 
Erma Bombeck (1927 -1996)

Tadi pagi Mukidi pamit di grup WA. Dia datang diantar seorang teman yang sehari-hari saya kenal serius. Eh, ternyata Mukidi pamit karena kemungkinan kuota paket datanya habis. Sebelum itu, Mukidi juga cerita tentang "skandal kondomnya" yang mengenaskan (: beli kondom di kios milik bapak dari pacarnya), bagaimana dia menipu polisi dan penjaga warung, dan bagaimana Mukidi sayang sekali sama istrinya yang kesakitan sesudah melahirkan (: karena itu ia minta poligami). 

Mukidi, Mukidi. Kamu seperti hadir di zaman yang suram. Ketika kekerasan seksual dan pembunuhan anak-anak menyeruak di mana suka. Ketika politik memainkan lakon lama yang basi. Ketika hukum masih mudah ditelikung kanan-kiri. Ketika perang bengis para maniak tampil seperti sinema. Ketika teror menjadi tontonan sehari-hari. Juga ketika industri televisi makin jenuh dengan berita politik, gosip artis serta selera sinetron yang basi. 

Zaman di mana manusia makin cemas dengan masa depan dunianya sendiri (?). 

Mukidi memang tidak membawa hal-hal baru, lelucon-lelucon segar kepada kita. Ia bisa jadi sisi lain dari kesuraman itu sendiri: daur ulang dan basi. Hanyalah oplosan yang direvisi agar menyesuaikan dirinya. Ibarat kloning, Mukidi hanya ada karena lahir di "zaman yang memintanya" (?). 

Mukidi mungkin mewakili cita rasa selera rendah. Cita rasa yang dikutuk bersamaan dengan konsolidasi kebudayan kelas atas. Entahlah. 

Mukidi jelas bukan lahir dari kesadaran kritis sekaliber Chaplin, misalnya. Chaplin yang dengan film bisunya mampu membuat tertawa sekaligus sinis. Seperti dalam film hitam-putih yang mengkritik modernisasi. Atau juga tidak sekelas Samuel Langhorne Clemens alias Mark Twain, pelahir kisah Tom Sawyer yang mendunia. Twain pernah bilang "Genuine humor is replete with wisdom". Mukidi tidak datang dalam semangat berbagi kebijaksaan. 

Tetapi, walau begitu, mengapa banyak orang masih (bisa) tertawa dan Mukidi boleh viral?

Bagi saya, membaca Mukidi, pertama-tama, adalah membaca penggal riwayat. Riwayat yang di Tanah Papua di sebuah tradisi Mop. Riwayat yang sebenarnya ada di semua lokasi kebudayaan Indonesia. Jadi membaca Mukidi adalah membaca diri dan membaca pengalaman ber-Indonesia.

Dalam tradisi Mop, para peserta yang hadir membawakan ceritanya. Ceritanya tidak perlu ori. Bahkan banyak cerita Mop yang tidak pernah diketahui siapa penciptanya namun sudah viral ke mana-mana. Yang diperlukan adalah keterampilan bertutur, olah tubuh, dan tentu saja pendengar karena Mop bukan monolog di kamar mandi. 

Tradisi Mop biasanya kami lakukan di waktu luang. Pada sore hari, pada malam atau ketika jam-jam kosong sekolah. Dalam praktik berulang ini kami sampai tahu siapa di antara kami yang sebenarnya ahli dalam ber-Mop. Keberulangan yang juga menyambung ingatan atas cerita humor dengan banyak cerita yang sejenis namun beda lokasi budayanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun