[caption caption="Sumber: irieup.com"][/caption]“Words make you think. Music makes you feel. A song makes you feel a thought.”
― E.Y. Harburg (1896-1981)
Sejarah ditulis oleh para pemenang. Bukan mereka yang kalah. Dan ditulis oleh kuasa laki-laki, his-story. Karena itu juga sejarah tidak memberi ruang bagi perempuan (her-story). Mungkin karena itu juga suara mereka yang kalah dan mereka yang perempuan sering "tidak memiliki teksnya". Apalagi dalam narasi resmi sejarah yang dibangun oleh rezim politik tertentu dengan berwatak patriarkis dan menjadikannya ajaran utama di lembaga-lembaga pendidikan formal pun informal.
Dalam sejarah, walau dikepung oleh kekuatan yang memaksanya agar tiada, suara-suara yang kalah dan perempuan selalu memiliki pembelanya. Pembela itu bisa datang dari golongan cerdik cendekia, yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. Frantz Fanon, Mahatma Gandhi, Paulo Freire, adalah beberapa yang menjadi bagian dari intelektual organik yang menentang praktik penistaan manusia khususnya di dunia ketiga. Bila melihat pada kenyataan Indonesia, maka kita bisa menemukan itu dalam sosok generasi Soekarno-Hatta dengan kekhasan mereka masing-masing. Cerdik cendekia ini bukan saja bicara untuk rakyatnya. Tapi yang lebih prinsip adalah berbicara bersama rakyatnya. Penjara tidak bisa membunuh mereka.
Selain cerdik cendekia, juga ada kelompok musisi yang menyediakan dirinya “sebagai corong mereka yang kalah”. Robert Nesta Marley atau lebih familiar dengan Bob Marley adalah salah satu yang bisa disebut untuk perjuangan seperti ini. Pria Jamaika kelahiran tahun 1945 yang tidak pernah dinominasikan dalam Grammy namun memperoleh The Grammy Lifetime Achievement pada tahun 2001 juga menyanyi untuk menyuarakan perdamaian anak manusia. Rasanya hingga hari ini tidak ada yang menggantikan posisi Bob Marley sebagai “Dewa Reggae”.
Di Indonesia, salah satu yang bernyanyi untuk menyuarakan nasib mereka yang kalah atau perempuan adalah Iwan Fals. Pria bernama asli Virgiawan Listanto ini dikenal sebagai legenda yang gemar dengan lirik yang kritis terhadap kekuasaan. Pada reportase mendalam terhadap Iwan Fals yang ditulis oleh Andreas Harsono berjudul Dewa dari Leuwinanggung, kita bisa membaca sosok Iwan sebagai manusia biasa yang belajar, resah dan kemudian protes.Termasuk juga sisi dirinya yang lemah dan melakukan kesalahan-kesalahan.
Menikmati musik yang menyuarakan suara-suara yang kalah dalam industri tanah air rasanya sudah susah, terlebih pada jenis industri major label. Kebanyakan yang didendangkan adalah cinta diadik (hubungan dua manusia beda kelamin) dan segala rupa dinamika rasa di dalamnya, termasuk sakit hati dan pengkhianatan. Musik yang memilih lebih bertahan pada “tak melulu romantisme cinta” sepertinya lebih bergairah pada aktivitas underground atau indie. Entahlah, saya menduga saja.
Saya tidak memahami musik. Atau, dalam konteks musik yang menyuarakan suara yang kalah, tidak terlalu memahami bagaimana menjelaskan secara terang benderang hubungan antara musik dan pembelaan orang kalah. Atau memahami dengan dalam “arti penting seniman mengetahui politik” yang dulu dianjurkan Arief Budiman kepada Iwan Fals. Arief adalah sosiolog yang pernah dipandang sebagai ancaman oleh negara militeristik Orde Baru dan juga merupakan cendekiawan yang mengembangkan sudut pandang sosiologi kritis dalam pembangunan.
Posisi saya dalam hubungan musik, pembelaan orang kalah serta kritik atas kekuasaan hanyalah penikmat yang tidak pernah bosan pada lagu tertentu yang menggetarkan. Lagu yang sungguh membuat merinding!
Ada senandung lawas yang cukup menghadirkan getar rasa dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Kantata Takwa. Kantata Takwa adalah band yang memiliki nama besar pada tahun 90an di mana proses kreatifnya dikerjakan oleh orang-orang bertalenta. Orang-orang terbaik di tahun itu. Ada sosok W.S Rendra, Setiawan Djodi, Iwan Fals, dan Sawung Jabo sebagai pentolan utamanya. Menurut Sawung Jabo, ada ciri yang membedakan grup musik ini dengan grup pada umumnya:
Meskipun merupakan grup musik, Kantata mempunyai kekhasan dibanding grup-grup lain. Kantata lebih tepat disebut sebagai sebuah forum komunikasi, diskusi, dan pengejawantahan kreativitas dari sensitivitas sosio-estetik para personilnya. Visi yang kuat akan kondisi sosial budaya menjadikan mereka sebagai wujud representasi baru atas perjalanan panjang serta dinamika kehidupan masyarakat kita.
Sensitivitas sosio-estetik! Inilah api kritisisme yang menghidupi geliat kreatif personil Kantata Takwa. Sensitivitas yang rasanya kini makin sepi dari proses kreatif lagu-lagu anak muda. Sensitivitas yang bukan saja kemampuan menangkap-mengungkap kegetiran kaum kecil, keberanian menyuarakan, tetapi juga kemampuan menyuarakan kemarahan secara puitis lewat sebuah lagu.