Bagaimanakah generasi 1950-an hingga 1970-an bertemu, jatuh cinta lantas memutuskan menjadi sepasang suami istri? Jika berasal dari satu propinsi atau kota yang sama atau juga karena merantau di wilayah yang sama, pertemuan itu sesuatu yang mungkin sudah biasa-biasa saja. Tapi bagaimana dengan pertemuan dan komitmen rasa yang dirawat melalui surat menyurat manual sepanjang perpisahan memberi jarak ruang dan waktu pada mereka selama berpuluh tahun?
Era hari ini dimana fasilitas teknologi komunikasi memberi banyak kemudahan untuk memendekan jarak, ruang dan waktu, surat menyurat manual lambat laun mulai ditinggalkan dan tidak menarik. Hari ini orang membutuhkan komunikasi yang cepat tanggap dan menjadi terburu-buru. Karen itu pula ada yang bilang jika “Tuhan manusia digital” adalah kecepatan, selain pendangkalan bersama peniruan dan perayaan hasrat tiada puasa-puasanya. Ada juga filsuf yang menyimpulkan, jika peradaban industrial, sistem ekonomi-politik berkutat pada perebutan nilai lebih, maka di era post-industrial, sistem masyarakatnya sibuk memburu nikmat lebih. Demikian kata Slavoj Zizek, filsuf nyentrik asal Slovenia.
Oleh pergeseran moda komunikasi, surat menyurat manual, dimana kita menulis (dengan tangan) di kertas, melipat rapi dan mengisi dalam amplop, menempel perangko berharga khusus, mengirimnya melalui kantor pos lalu menunggu balasannya datang kini menjadi sesuatu yang sepertinya romantis. Terhadap "romantisme surat menyurat manual" inilah, saya ingin sedikit saja berbagi cerita. Sedikit cerita yang bersumber dari karya fiksi.
Kebetulan saya baru saja membaca sebuah cerpen berjudul The Japanese Wife karya Kunal Basu (Bentang, 2012). The Japanese Wife bercerita tentang pasangan kekasih yang merawat rasanya lewat surat menyurat sepanjang tahun.Kunal Basu adalah penulis India yang lahir dalam keluarga dengan darah seni yang kental. Ia juga pernah menjadi profesor di McGill University, Montreal, Kanada pada kurun waktu 1986-1999. Menurut informasi dari penerbitnya, sejak tahun 2001, ia telah menerbitkan empat novel dan sekumpulan cerpen. Kata penerbitnya,Kunal Basu merupakan salah satu pegiat fiksi dengan “genre sejarah romantis”, jenis genre yang saya cari-cari pengertiannya dalam cerpen The Japanese Wife tersebut.
Seperti apa sari cerita The Japanese Wife?
Adalah Snehamoy, seorang India juga guru artimatika yang berlevel doktorandus lulusan sebuah universitas di Kolkata. Sneha—begitu ia dipanggil bibinya--mengajar pada sebuah SMP di Shonai. Sneha yang dalam bahasa Bangla berarti kasih sayang, sejak kecil hidup bersama bibinya, seorang janda muda, sesudah ayah dan ibunya tewas tenggelam di sungai Matla.
Sneha melewati hari-harinya dengan bersepeda dan mengajar, dan, membalas surat serta menunggu balasan surat dari istrinya, Miyage, yang tinggal di Jepang. Miyage—berarti hadiah—mula-mula sahabat pena yang ditemukan alamatnya di sebuah majalah oleh Sneha, ketika sedang dalam masa studi di Kolkata.
Surat menyurat mereka kemudian terus berkembang, dari urusan rasa sebagai sahabat pena hingga menjadi sepasang kekasih yang memutuskan menjadi suami istri tanpa pernah berjumpa sekali pun! (duhaaai!!). Surat menyurat mereka juga menjadi “bukti” bahwa di kampungya, hanya Sneha yang beristrikan orang asing, dan karena itu juga setiap kiriman yang datang dari Jepang, selalu menjadi kehebohan kecil di kampungnya. Miyage memang tidak sekedar mengirim surat, ia juga mengirim cenderamata khas Jepang secara teratur kepada suami yang tidak pernah ditemuinya.
Surat menyurat Sneha dan Miyage juga membicarakan hidup sehari-hari mereka, keluarga, masyarakat desa, sungai, tradisi, selain keyakinan-keyakinan rasa bersama rindu dan cemburu yang dipelihara dalam sebuah hubungan pernikahan yang terpisah jarak. Dan mereka melakukan ini selama dua puluh tahun!
Sneha dan Miyage terus saling berbalas surat dan kiriman paket selama 20an tahun hingga maut memisahkan mereka. Mereka tidak pernah bertemu, hanya surat-surat yang dikirim bolak-balik India dan Jepang, melewati sungai, naik turun kapal feri, menyusuri jalan alam pedesaanlah, hingga menjadi cerita gaduh warga desalah, yang menjadi saksi ikatan rasa mereka yang abadi. Juga seorang Bibi yang selalu protes, jika surat menyurat tidak bisa memberimu bayi!, kepada Sneha. (Mungkin bagus juga cerita ini dibaca sambil melantunkan Till Death Do Us Part-nya White Lion, hahaha)
Hingga dalam surat terakhir pada Sneha, Miyage berpesan : Snehamoy sayang..jika kau membaca surat ini, aku mungkin sudah tiada..