[caption caption="Cover belakang Cerita dari Digul/dok.pri"][/caption]Bagaimanakah rasanya menulis dalam kondisi menjalani pembuangan politik?
Pembuangan politik yang bukan saja memenjara kemerdekaan diri. Bukan sebatas membuat jauh dari kampung halaman dan orang-orang tercinta. Tapi ini adalah pembuangan politik yang dialami sebab menentang kekuasaan kolonial yang serba sensorik-represif terhadap karya tulis dan mudah sekali mengeluarkan hukuman tanpa pengadilan. Juga pembuangan politik yang dialami ketika wujud Republik merdeka dan berdaulat belum lagi menunjukkan tanda-tanda kelahirannya.
Ini juga adalah pembuangan politik yang menghadapkan hidup pada ketidakpastian sampai kapan mampu bertahan. Oleh karena melewati hidup harian pada tempat yang jauh dari pengawasan hukum yang beradab.
Sebuah tempat dimana kurungan serta kerja paksa membuka hutan untuk berladang dilakukan dalam todongan senapan dan tendangan sepatu lars. Sebuah tempat dimana serangan penyakit mematikan, malaria hitam, telah menjadi agen malaikat maut yang paling menakutkan.
Pendek kata, bagaimanakah rasanya menulis dalam siksaan lahir batin dimana keyakinan dan hidup dipertaruhkan melewati ketidakpastian sampai kapan dera siksa itu berakhir.
Saya secara terlambat menjumpai buku kumpulan cerita yang ditulis dalam kondisi seperti di atas. Karya yang disunting oleh orang buangan, seorang tahanan politik juga sastrawan cum sejarawan besar, Pramoedya Ananta Toer. Kumpulan tulisan itu berjudul Cerita dari Digul yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tahun 2001. Kini dicetak kembali oleh KPG.
Buku ini memuat lima cerita pendek yang merekam kisah-kisah hidup di Tanah Boven Digul, sebuah tanah kematian bagi para pemberontak yang mulai disediakan pemerintah kolonial tahun 1927. Boven Digul adalah kamp pengasingan yang sengaja dibuat untuk mereka yang dianggap terlibat atau pun bersimpati pada pemberontakan 1926-1927, tanpa pengadilan. (Pramoedya, Pengantar, hal xxi).
Dalam lima cerita itu, tidak ada yang membahas bagaimana menulis dalam suasana penderitaan manusia buangan kolonial. Alias bukan buku resep menulis walau dengan membaca pelan-pelan setiap cerita kita bisa melihat sebuah pola menulis tahun-tahun itu.
Yang lebih saya maksudkan disini adalah buku Cerita dari Digul boleh menuntun untuk menyambungkan kesadaran merdeka hari ini dengan kesadaran yang berjuang untuk merdeka. Teks yang bisa menyambungkannya adalah lima cerita pendek.
Pramoedya dalam pengantarnya mengatakan jika kelima cerita ini memberi jejak penting bagi perkembangan sastra dan bahasa Indonesia.
Apa pasalnya?