Setiap pagi adalah permulaan hari. Permulaan bagi manusia untuk menjalankan rutinitasnya masing-masing. Permulaan bagi manusia menyusun dunia sehari-harinya. Pagi adalah permulaan bagi manusia untuk bertebaran di muka bumi untuk memenuhi hidup dunianya. Demikian dalam bahasa agama.
Tapi pagi tidak memulu begitu ketika musim politik tiba. Persisnya ketika musim pemilihan umum tiba.
Pada pagi seperti ini, orang-orang bisa meninggalkan kesehariannya yang rutin. Pada hari pemilu berlangsung, orang-orang mengalami jeda sejenak dari keseharian. Mereka yang pergi ke sawah bisa menunda sejenak urusannya. Juga mereka yang pagi-pagi pergi ke pasar. Negara bahkan memberi libur di hari ini dan berharap semoga pemilu memungkinkan terciptanya partisipasi yang maksimal. Inilah pagi bagi orang-orang biasa, mereka yang bukan kontestator, bukan Calon Anggota Legislatif (CALEG).
Di mata para kontestator dan petinggi politik, pada hari ketika pemilu berlangsung, pagi hari adalah momentum yang kritis. Kritis karena di saat itulah orang-orang akan pergi memutuskan memilih siapa. Pada hari itu juga, bilik-bilik menjadi saksi bagi keputusan-keputusan politik. Pagi pada hari pemilu, pertanyaannya adalah menang atau kalah.
Di pagi yang kritis inilah, para kontestator itu bertarung berusaha maksimal untuk menyediakan syarat-syarat bagi kemungkinan menang. Hingga ditemukanlah serangan fajar sebagai salah satu metodenya.
Suka atau tidak, serangan fajar adalah buah yang logis dari sistem elektroral dimana politik dan rakyat itu hanya bertemu ketika pemilu tiba dalam kuasa uang. Tak ada ikatan kesadaran nilai bernama ideologi, tak ada ikatan fungsional bernama kader. Yang mengikat orang-orang ke dalam politik sepertinya hanya massa, pengurus partai, dan momentum serta uang.
Sementara masa-masa di luar pemilu adalah era yang seolah saling acuh. Mereka yang terpilih, para Anggota Legislatif (ALEG) itu hidup dengan urusannya sendiri, rakyat pemilih pun berjalan dengan kesusahan-kesusahan hidupnya.
Untuk menghadapi situasi demikian, ketika uang dan serangan fajar menjadi taktik pamungkas sebelum orang menentukan pilihan, sering sekali kita mendengar kritik-kritik moral. Kritik moral yang berfokus pada harga diri dan nurani hingga kritik yang menyoroti bahayanya politik uang dalam membentuk legitimasi kekuasaan.
Disisi lain, masih dalam takaran moral politik, metode serangan fajar telah membuat politik terjerembab ke dalam lembah nista. Kompetisi antar kandidat tidak lagi berupa pertarungan gagasan dan adu metode terbaik merangkul kehendak pemilih tanpa harus menawar mereka seperti hendak membeli ikan di pasar. Serangan fajar juga telah menistakan hubungan manusia dalam politik menjadi sekedar hubungan uang dengan barang.
Namun, di tengah hujan seruan moral itu, mengapa taktik serangan fajar masih saja terjadi kalau bukan malah masih dominan digunakan ?. Apa yang kurang lengkap dari kritik moral politik terhadap serangan fajar itu ?. Pada akhirnya jika kritik moral kita atas kenistaan politik uang tak juga mendorong emansipasi politik, sejatinya ia 'gagal' bukan ?.
Pada hemat terbatas saya, pendekatan kritik moral politik punya dua pokok masalah yang gagal dibereskan.