Sebagai Juventini, saya adalah salah satu dari banyak fans yang pada mulanya pesimis pada sosok yang satu ini.Â
Rasa pesimis itu paling kurang dimunculkan dari dua alasan. Pertama, Antonio Conte, si pemilik "emosi yang kompetitif", telah memberi tiga musim beruntun dengan scudetto.
 Pemain yang semasa berkarir menjadi gelandang yang tak kenal lelah itu juga mengembalikan Juventus sebagai klub dengan rasa percaya diri dan daya juang yang menjadi ciri khasnya.Â
Sebagai pecinta Juventus, hasil kerja Conte mengembalikan klub pada kasta yang seharusnya. Ini jelas pencapaian dan harap yang tidak boleh rusak karena pergantian pelatih.Â
Kedua, karena Massimilliano "Max" Allegri, sang suksesor, datang ke Juventus sebagai sosok yang gagal di AC Milan. Pria yang lahir 11 Agustus 1967 ini, yang gagal di Milan paskapenjualan beberapa pemain level atas sekelas Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva, justru dikontrak untuk menangani klub yang sedang kembali menjadi superior di Serie A. Â
Allegri datang dengan disambut oleh spanduk "Kami Tidak Mau Allegri". Bukan karena ia bersalah secara khusus, namun datang di tengah ekspektasi fans yang tinggi sekaligus kekhawatiran yang ditinggalkan Conte.
Namun Allegri, yang cenderung pendiam itu perlahan namun meyakinkan menunjukkan kelasnya.Â
Pada pekan ke 34, di laga melawan Sampdoria yang dimenangi 1:0, Juventus mengunci scudetto dengan raihan 79 point. Pada enam pekan pertama, Allegri membawa tim melahap enam kemenangan beruntun.Â
Juventus sempat kalah pada pekan ke sembilan oleh Genoa, namun pada dua puluh pekan kemudian, si Nyonya Tua melaju minus kekalahan. Mereka sempat kalah dari Parma pada pekan ke tiga puluh.Â
Pada 26 april 2015, skuad Allegri juga kalah dalam derby melawan Torino, namun kembali menang di dua laga, Dua laga yang mengunci scudetto. [beritanya di  sini]Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!