Kemarin siang, Sabtu, saya memakan (lagi) kesederhanaan.
Kesederhanaan yang disajikan dalam dua piring nasi putih (karena menambah), tiga kerat ikan asin digoreng dan sayur kulit cempedak, bersama cabe yang diulek kasar bersama garam. Kemudian mereka semua disajikan di atas tikar dari bahan purun di bawah rumah panggung yang mulai bocor beberapa bagian dindingnya.
Kesederhanaan ini adalah buah dari kerja, dari usaha. Nasinya berasal dari ladang sendiri yang benihnya merupakan hasil penemuan dan ujicoba nenek moyang; warisan masa lalu yang terus bertahan hingga kini.Â
Ikan asin itu berasal dari aliran sungai yang kini sepi dari ramai lalu lalang batang kayu dan tongkang. Sedangkan kulit cempedak dan cabe itu adalah tetumbuhan yang ditanam sendiri di kebun dan pekarangan.
Sebelumnya, pada pagi sebelumnya, saya juga sudah makan. Komposisinya hampir sama, nasi putih dari ladang sendiri, sayur kacang panjang dan cabe dari kebun sendiri. Hanya ikan asin itu diganti udang dari sungai yang sama.Â
Tapi menu siang itu tetap saja memancing rasa lapar muncul. Bukan rasa lapar di dalam perut. Tapi rasa lapar pada kenikmatan kecil yang untuk memperolehnya manusia tidak harus melepaskan dirinya ke dalam impor selera dan cita rasa.
Impor selera dan cita rasa adalah salah satu daya dorong budaya yang mengikuti irama globalisasi.
Impor itu menstandardisasi selera, memberikan daftar buku menu global, lalu menyertakan sejenis peta jalan dengan keterangan: untuk menikmati ini, anda harus ke gerai ini, untuk menikmati ini, anda wajib datang ke gerai ini, begitu seterusnya.Â
Impor itu juga konon mereplikasi gaya hidup tertentu di lokasi yang jauh dan menghadirkannya di mana-mana. Beberapa yang curiga menuduh jika impor selera adalah taktik untuk menciptakan pasar demi meredam kemungkinan kelebihan produksi dan kejenuhan di dalam rumahnya sendiri.Â
Tentulah menarik untung adalah penyebab utama import itu bekerja.
Jadi, saya seperti memakan kesederhanaan yang berdiri di luar jaring impor selera itu. Seolah saja globalisasi selera berhenti di batang-batang kayu dengan jamban yang berjejer dari hulu ke hilir.Â