Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kuliah Kesepian

26 April 2015   14:14 Diperbarui: 10 Mei 2019   19:37 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Corel Discovery Center - Corel Corporation

Apakah kesepian itu?

Ketika kamu duduk, seorang diri, tanpa teman, tanpa bicara? Dalam sunyi, dalam hening, dalam gelap gulita, dalam  kondisi dimana hanya ada kamu?

Atau saat kamu berlari sekeras hati, tapi dunia berhenti. Lalu kamu bingung, siapa yang kamu kejar?

Aku punya cerita. Sebuah kuliah tentang kesepian.

***

Aku pernah melihat seorang politisi. Seorang yang paling cerdas di zamannya. Ia ahli pidato, ia propagandis terhebat di zamannya. Tangannya melahirkan republik, kata-kata baginya adalah senjata, penjara adalah gudang pelurunya. Makin sering dipenjara, makin banyak ia memiliki amunisi membunuh tuan penjajah.

Rakyat mengeluk-eluknya, rakyat mencintainya. Panggung-panggung selalu menunggu gelora tajam suaranya yang menghidupi jiwa-jiwa yang letih diinjak kemanusiaannya. Bendera-bendera berkibar untuk merayakan kegagahan tampangnya.

Tapi, ia mati dalam kesepian, kesepian yang membisukannya. Ia mati oleh apa yang melahirkan dirinya. Ia mati oleh politik.

Ia mati dalam sepi, bersamaan ramai rakyat berkumpul, kibar bendera, dan panggung-panggung raksasa yang dilarang untuknya.  Barangkali baginya, bukan masalah dibunuh berkali-kali dalam politik kolonial. Tapi mati satu kali oleh politik yang mengawetkan kesepian alam merdeka.

Sepedih lirik WS. Rendra, untuk apa hidup merdeka tanpa cinta? Inikah kesepian itu?

***

Atau, mari kita bicara di era merdeka.

Adalah ia, yang menulis dengan kalimat-kalimat paling menghentak dalam sastra. Setidaknya bagi aku, yang tak pernah bisa bagaimana menulis seperti itu?

Dari dalam penjara, ia menulis kesaksian-kesaksian serius, menulis ulang sejarah dengan memikat dan mneyadarkan. Ia, melalui penanya, mendialogkan Barat dan Timur sebagai kesadaran dan kemanusiaan. Maka ia tidak menulis untuk dirinya, ia menulis untuk bangsanya. Menulis untuk pencerahan bangsanya, menulis karena menghancurkan inferioritas kaum underdog.

Tapi ia menghabiskan sebagian hidupnya dalam penjara. Penanya berbahaya, karena tidak mampu merawat dusta atau mungkin tidak tahu cara untuk diam! Ia dipuja-puji dunia, penulis hebat yang belum tentu dilahirkan dalam 100 tahun. 

Sayang, di negerinya, oleh politik, sejarah kekuasaan tidak cukup meminta maaf. Sekedar mengakui ada yang salah pun enggan.

Ia berusaha dimatikan oleh (lagi-lagi!) politik, tapi ia bertahan dalam tiga rezim. Semua sudah dia berikan untuk negeri, tapi mungkin ia pergi membawa sepi. Sepi karena dinistai bangsa sendiri.

Inikah kesepian itu? Melewati alam merdeka tanpa penghargaan?

***

Jadi apakah KESEPIAN itu?

Ia yang kenyal terhadap riwayat orang-orang besar, yang tumbuh dalam zaman yang keras, tumbuh dari rangkaian derita ke derita. Pencapaian-pencapaian besar dalam hidup dan karya tidak lantas membuat kesepian menjadi imaji.

Kesepian mungkin bukan jauh dari gemuruh, bukan terkunci dari ramai.

Kesepian adalah aku, dialog diriku dan kesempatan.

Kesepian mungkin adalah ketiadaan kesempatan untuk menceritakan kejemuan diri pada diriku yang terburu-buru. Kehilangan kesempatan untuk menangis pada aku yang rapuh. Kehilangan kesempatan untuk menceritakan kegagalan pada aku yang rendah. Kehilangan kesempatan untuk dihargai pada aku yang lupa. Kehilangan kesempatan untuk menceritakan kesalahan pada  aku yang berdosa.

Kesepian adalah kehilangan kesempatan untuk menghidupi diri terus menerus melewati kemalangan, kesedihan, kesuraman, penderitaan, dan omong kosong kehidupan. Kesepian adalah kehilangan kesempatan untuk jujur, untuk menyibak topeng, membuang selubung.

Kesepian bukanlah jauh dari ramai. Kesepian adalah ketidaktahuan diri untuk kembali pulang pada suasana tanpa basa-basi, tanpa ilusi.

***

Demikian kuliah Sang Nietzsche, lelaki berkumis tebal dengan sorot mata setajam elang, yang menampariku tadi subuh, melalui mimpi yang samar. Aku bertemu dengannya, melihatnya di surga, di antara bidadari yang gembira.

“Ada kabar dari Tuhan?” tanyaku. Dia hanya tersenyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun