Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Kota dan Sebuah Kesaksian

26 September 2015   10:05 Diperbarui: 27 September 2015   21:07 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Geliat manusia dan kota. Sumber: Kompas Travel"][/caption]Aku adalah anak dari kasih sayang laut. Sebelum mall dibangun dimana-mana, belanja ditebar ke siapa saja.

Hingga pesisirku menyusut, lautku merajuk. Aku terus sebagai anaknya yang tumbuh sadar dalam keterpinggiran nelayan, lantas perlahan terusir dari sejarah hidupnya. Dan sekarang terlunta-lunta, menjadi buruh cleaning service di mall yang selalu sesak orang belanja.

Padahal dulu tidak begitu.

Walau kami tak kaya, tapi tak harus membeli ikan dari etalase besar penuh es. Walau kami tak makmur, tak perlu belajar berenang ke kolam-kolam mewah water park. Cukuplah laut dengan terumbu karangnya yang terjaga, dengan kail dan umpan serta perahu tua, aku selalu bisa makan ikan segar setiap saat. Cukuplah dengan celana pendek dan ban dalam mobil yang dipompa, aku sudah bisa berenang mempelajari irama gelombang. Cukuplah dengan kaki telanjang dan langkah kaki sarat kerinduan, aku sudah boleh menikmati senja yang bebas.Tapi ini dulu, sebelum mall dibangun dimana suka, sebelum kota terlanjur tumbuh dalam cita rasa bukan untuk semua.

Dahulu, ayahku adalah seorang nelayan yang tangguh. Ia selalu meninggalkan rumah sesudah Isya dan kembali sebelum Subuh. Wajah ayahku adalah bentukan cerita malam yang penuh dihiasi sinar rembulan, wajah dimana kesabaran, keyakinan dan harap ditumpukan kepada kebaikan laut.

Wajah ibuku, adalah wajah setia yang dibentuk dari penantian yang pasti. Ia selalu menyambut kepulangan ayah di depan pintu, seperti pesisir yang setia menunggu kepulangan ombak. Ia tiada pernah menuntut lebih, pemberian laut yang dititip pada ayahku setiap pulang sudah cukup sebagai rejeki. Asal kami bisa makan dan selalu tersedia sedikit sisa untuk membeli kebutuhan sekolahku.

Hingga datang saat semua rencana yang menjadi nyata.

Para penguasa kota bilang, “Inilah sebuah jalan menuju masa depan yang gemilang. Kota-kota harus dibangun sebagai rumah bagi pertumbuhan, jasa, dan keberlanjutan konsumsi!” Media massa juga bilang, "Inilah jalan baru menuju kemajuan sesungguhnya dengan mengemas kota ke dalam cita rasa pusat-pusat belanja dan jasa,” sambil memasang iklan besar di setiap halamannya. Kaum intelektual juga bilang, “Inilah sebuah pendekatan pembangunan yang sadar dengan geoposisi dan trend global!” sambil setiap hari membuat seminar.

Jika penguasa kota, media massa, dan kaum intelektual kalau sudah bersekutu narasi, siapa lagi yang berani menghadangnya? Tidakkah cukupku selama ini daratan, bukit, gunung, dan hutan dibongkar untuk sebuah janji yang makin sumir ketika berhadapan dengan pertanyaan, pada siapa ia mengabdi.

Maka, bersamaan dengan persekutuan yang bergerak sempurna, segera saja, pesisir ditimbun, laut dipasung. Bebatuan besar ditumpuk, gedung-gedung besar dibangun, iklan-iklan dikirimkan. Ikan-ikan kabur, anak-anak kehilangan rumah untuk berenang, para nelayan hidup menghadapi keterasingan. Ayahku dan teman-temannya kini sering duduk termangu, melihat senja yang turun dalam temaram. Ibuku sudah tak lagi menunggu di depan pintu, terlalu lelah hidup sebagai babu rumah tangga.

Tada lagi kisah tentang pemberian laut dan kesetiaan yang menanti di depan pintu. Yang tersisa hanyalah romantika masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun