Perahu kecil yang membawa saya baru saja merapat di jembatan papan. Kala itu, senja belum lagi merah.Â
Di sebelah jembatan, taksi perahu itu sudah ditambatkan.Â
"Rusak lagikah mesinnya?" tanya saja lekas-lekas.Â
"Gak, baru saja pulang," jawab si supir taksi perahu.Â
Tumben, biasanya dia baru tiba di kampung pada malam hari, paling cepat pukul 19.00 WIB. Ada apa?Â
Saya berjalan meniti jembatan. Ada kerumunan orang di depan sana, mereka sedang duduk menikmati sore yang lambat. Apalagi sebentar malam akan mengalami giliran pemadaman listrik PLN, buat apa cepat-cepat pulang ke rumah.Â
"Kenapa sudah pulang? Cepat sekali," tanya saya masih penasaran pada seorang kawan lain yang juga supir taksi sungai.Â
Mereka berdua sering bergantian pergi-pulang membawa taksi ke hulu sungai. Rata-rata 7-8 jam sekali bertolak ke hulu sana. Tak jarang, mereka menginap dulu di hulu menunggu penumpang. Maklumlah, sekali berangkat, paling sedikit duit satu juta rupiah sudah pasti keluar untuk beli BBM.Â
"Ada keluarganya yang meninggal, makanya lekas pulang," jawab kawan yang satu ini.Â
"Yang mana?" tanya saya lagi.Â
"Kemarin pagi, meninggal di puskemas, dibawa dari kampungnya sana. Sakitnya bikin perempuan itu tidak bisa minum air," terang kawan ini.Â