Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Belajar Tega di Kereta...

22 Juli 2016   08:24 Diperbarui: 22 Juli 2016   16:00 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengguna Kereta Commuter Line berdesakan di dalam gerbong. (Kompas/Wisnu Widiantoro)

Kalau Anda yang terbiasa bolak-balik naik kereta jenis KRL, tulisan ini tidak akan bermakna apa-apa. Tapi bagi saya, yang datang dengan segenap udik pinggiran yang setia menyala-nyala, kisah di bawah ini adalah pengalaman penting.

Saya naik KRL bukan sekali dua kali. Hanya tidak intens, frekuensinya rendah, hanya ketika sedang di Bogor atau Jakarta saja. Lalu apa bedanya cerita ini dengan sebelumnya?

Kali ini, tanggal 19 Juli 2016, di KRL, saya belajar tega!

Jadi ceritanya dari Stasiun Kramat, saya hendak menuju Cilebut. Waktu kala itu menunjuk pukul delapan lewat sekian menit. Saya hendak ke kantor, rapat koordinasi, lalu kembali ke pinggiran sungai di mana saya hanya akan naik perahu ke mana-mana. Dari stasiun kecil di bilangan Percetakan Negara ini, saya harus memutar ke Tenabang dulu. Padahal saya bisa saja ke Stasiun Manggarai atau Tebet, yang jarak tempuhnya lebih dekat ke Cilebut, tentu saja. Tapi kali ini saya ingin, sekali lagi, belajar tega.

Dan bersama tas panggul Deuter yang lumayan sarat isinya serta tas kecil yang serupa selempang, saya masuk dan berdiri. Dalam berdiri itu, saya sempat mencuri beberapa gambar, mengabadikan suasana dengan gawai ASUS Zenfone 5. Masih tidak terlalu padat manusia tapi tempat duduk telah penuh terisi.

Dua stasiun dari Kramat, saya akhirnya bisa duduk. Dalam hati tumbuh suara nyaring, mari kita mulai belajar tegamu, Ji. Batok kepala seolah keluar dua tanduk kecil. Aha!

Saya duduk, memangku tas berat itu, mendekatkan lidah topi yang mirip milik Subcommandante Marcos, lalu mulailah berakting: pura-pura lelah dan butuh tidur. Tak lama kemudian, naik dua karyawati duduk di sebelah kanan saya, masih wangi dan segar. Mereka bercakap tentang waktu kerja yang menguras energi. Dan tanpa bonus, hiiks.

Saya menguping dalam akting tidur. Kereta terus melaju sembari sesekali disertai pengumuman tiba di stasiun atau pintu akan segera ditutup.

Setiap penghentian stasiun, dari balik lidah topi yang pendek, saya memeriksa siapa saja yang masuk. Ada ibu-ibu bersama anak. Ada orang tua yang mungkin pulang belanja. Ada karyawan yang sedang tergesa-gesa. Khusus ibu-ibu itu, ada yang memasang wajah meminta dimengerti, tapi saya sedang belajar tega. Terus pura-pura tidur. Terus pura-pura sedang kelelahan. Saya berharap mereka menyadari itu dengan melihat tas panggung berukuran sedang di dua paha.

Kali ini kereta sudah mengarah ke Bogor, manusia hilir mudik berganti keluar dan masuk. Ternyata tidak sepadat-padat yang saya bayangkan. Barangkali akan berbeda jika saya bergerak dari arah sebaliknya, dari pinggir menuju pusat pertumbuhan ekonomi di mana manusia-manusia menggadaikan kenyamanan dirinya di kereta karena harus mencari makan.

Sebagaimana pernah, dulu, saya bergerak pagi-pagi dari Cilebut ke Tebet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun