Desember. Pulau Serui, Papua. Dua dasawarsa sesudah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat berlalu.
Matahari sedang remang, perlahan mulai tergelincir ke Barat. Di teras rumah dengan halaman penuh pasir putih, empat bocah SD : Aji, Victor, Petrus dan Fredy sedang sibuk menggunting lembaran kertas bekas, membentuknya menyerupai angka-angka. Tumpukan kaos bermacam warna tergeletak di hadapan mereka bertiga yang duduk membentuk segitiga.
“Ko mau pakai nomor berapa Ji?,” tanya Petrus, anak keturunan Biak bermarga Manufandu. Petrus sedang membentuk angka 4.
“Nomor 9 saja. supaya sama dengan kaka Dullah Kamare. Hahaha!” Aji menjawab sambil terbahak. Ia membayangkan diri seperti sang idola, yang selalu menjadi momok pertahanan setiap lawan ketika liga klub lokal dihelat.
“Kalau saya ikut kaka Yoseph Rumaikewi saja to.” Timpal Fredy, yang mengidolakan kakak sepupunya sendiri.
“Kalau saya, pakai nomor 10 saja, sama dengan kaka Daniel Kambuaya.” Kata Victor ikut mengajukan nomor yang dipilihnya. Fredy juga bermarga Rumaikewi sedang Victor bermarga Worabay, marga yang juga berasal dari Serui.
Guntingan angka-angka itu lalu disepuh dengan nasi dingin di setiap ujungnya dan ditempelkan pada bagian belakang kaos berwarna itu. Empat bocah sekelas rupanya sedang membuat kaos tim mereka sendiri menurut angka-angka yang digunakan idola mereka.
“Ji, baru sebentar sore ko ikut main ka tidak? Tong mau lawan anak-anak Tarau. Dong kuat juga.” tanya Victor sesudah angka terakhir mereka tempelkan.
“Adoh, saya tra bisa. Saya harus mengaji, nanti besok baru bisa. Baru abis itu mau ikut Mama ke arisan keluarga Kulonprogo nih.” jawab Aji dengan nada gundah.
“Nanti Frengky saja yang di depan dengan ko to.” sambung Aji lagi, lalu masuk ke dalam rumah, mengambil es lilin jualan ibunya.
Sambil mengunyah es lilin, mereka berempat lalu sibuk bercakap-cakap rencana taktik melawan musuhnya nanti sore. Di Serui, rombongan anak-anak sering bertemu di lapangan untuk saling bertanding. Sepakbola adalah sebuah wajah setiap sore hampir di setiap pemukiman yang memiliki tanah lapang sekali pun hanya untuk pertandingan kecil dengan 6-8 orang setiap tim.