Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kebiasaan Buruk di balik Bergiat Fiksi

31 Desember 2015   09:11 Diperbarui: 31 Desember 2015   09:48 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun 2015 adalah tahun dimana saya mendapat kejutan dari K’ers juga admin.

Kejutan itu adalah dipilih sebagai salah satu, meminjam bahasa Om Felix Tani, “penulis hal-hal fiktif” yang menjadi nominator Best In Fiction pada perhelatan Kompasianival , awal Desember kemarin. Saya sepenuhnya sadar, ukuran masuk nominasi bukan semata ciri khas dalam karya, tetapi juga keaktifan dan interaksi di Kompasiana. Ihwal yang bikin terkejut adalah rangkaian karya di kanal fiksi tersebut rupa-rupanya dipandang admin sebagai karya yang diperindah dengan gagasan filsafat dan mengajak pembacanya untuk memikirkan kembali (ada) hal-hal yang belum selesai.

Dengan penyimpulan yang terlalu tinggi ini, saya jadi kaget tujuh keliling. Bagi saya sendiri, sedikit pun tidak pernah menargetkan setiap cerpen, prosa atau puisi yang saya bagikan lewat akun S Aji akan mencipta pesan seperti itu. Di sisi yang lain, saya juga merasa belum pantas masuk di daftar tersebut, karya saya jauh dari standar setinggi itu kalau bukan jenis ngawur. Maka untuk kejutan penghargaan Nominasi Best In Fiction dari K’ers kemarin, saya menyampaikan terimakasih yang dalam.

Dalam bergiat fiksi, sejujurnya saya tidak pernah tahu bagaimana cara menulis cerpen atau puisi yang baik. Saya tahu ada banyak K’ers yang lebih matang dan menguasai luar dalam-atas bawah cara bergiat fiksi yang seharusnya, mereka ini lebih layak atau bahkan sudah melampaui untuk masuk dalam nominasi Best In Fiction. Tapi, mereka memang sengaja tidak menunjukkan dirinya secara terang benderang agar yang berfiksi kelas ngawur sebangsa S Aji boleh mengambil panggung.

Jadi jika ditanya soal proses kreatif di balik berfiksi, saya tidak punya resep, tidak pernah berani memberikan sejenis uraian praktis untuk ini (apa juga yang mau dibagikan, orang ngawur kok, hiakhiakhiak!). Yang saya lakukan selama ini hanyalah menggunakan fasilitas fiksi untuk menyampaikan yang dialami langsung, dirasakan, digundahkan, dan dicemaskan dalam hidup bermasyarakat. Jadi dengan menggunakan strategi fiksi, saya sebenarnya sedang membagikan suasana hati, semacam kecemasan eksistensial juga sosial, dengan cara yang lain saja. Suasana hati inilah barangkali “si sumber energi” berfiksi, tidak ada kiat-kiat kreatif yang lain. Tidak ada “rahasia langit” di balik ini semua. Sama juga, tidak ada hal yang baru dari model berfiksi seperti ini.

Nah, cukup sampai disini kesaksian yang tampak serius di atas itu. Saya mau bocorin jika di balik yang selintas serius, terbentang kebiasaan buruk dan memalukan yang terus saja diulang-ulang dalam menjalani proses berfiksi di sini. Kebiasaan memalukan yang terus saja terjadi bersamaan dengan usaha saya memperbaikinya. Aneh ya. Memalukan tapi berulang terjadi, celaka!

Apa sajakah kebiasaan itu?

Pertama, penguasaan dan penggunaan EYD yang buruk, sungguh buruk. Beberapa dari cerpen-cerpen itu diedit admin yang bertugas dan banyak yang tentu diabaikan, biarkan saja begitu, buruk tata bahasanya. Ironisnya, saya justru terus saja mengulang kesalahan yang sama, enggan belajar. Dasar kelas ngawur, sudah ditegur halus, masih saja belum waras-waras, ini manusia apa jin? Bahkan percaya diri pula, diposting terus. Ampuun Dijeee.

Kedua, kesulitan membuat ide cerita mewujud utuh dalam tulisan yang enak, renyah, nikmat, dan memuaskan. Ini juga satu sisi gelap yang terus saja terjadi pada diri S Aji. Misalnya saja saya ingin menulis komedi anak muda dalam perkara jatuh cinta. Yang terjadi adalah cita rasa lebay yang memenuhi seluruh tubuh cerita kala dibaca kembali. [Lalu dalam hati ada suara keras bilang, woooooiii, ingat sama umur!!]. Walhasil, ide sama cerita tidak bersetubuh. Saya malah mengulangnya dalam banyak kesempatan bercerpen, duh. 

Ketiga, kesulitan menyusun puisi dengan meninggalkan bayang-bayang gaya penulis lain. Bang Dos Man pernah bilang karya fiksi saya yang seolah puisi ujung-ujung bolak-balik ke Sitok Srengenge. [Maaak]. Yang Bang Dos Man enggan bilang secara eksplisit adalah : hai anak muda, kamu belum punya gaya sendiri, belum berkarakter. Dan memang benar, karena kalau dibolak-balik, dalam urusan karya serupa puisi, saya tidak pernah pergi jauh dari Chairil Anwar, hanya dia seorang saja. Artinya saya tidak memiliki cukup referensi soal penulis-penulis dan karya sastra, bacaan saya terbatas tapi kok ya nekad meramaikan puisi. Bikin malu, tapi karena saya anak muda, jalani saja dulu bleh..(ngelees..)

Keempat, kesulitan membuat cerpen yang singkat, padat, jelas dan cita rasanya nikmat; belum bisa menulis efektif dan efisien. Beberapa cerpen saya puanjaang dan juga membosankan. Kenapa tidak sekalian bikin novel saja, ini malah dikasih tags cerpen, diposting, eh, dikilau pula sama Admin—maksudnya disuruh baca sama orang banyak. Saya bukan tidak berusaha bikin pendek kawan, tapi tetap saja kesulitan. Pikiran di kepala kala menyusunnya bilang tambah ini, tambah itu, tambah lagi ini. Walhasil, taraaa...capek bacanya. Model cerpen begini terus saja saya ulang, ulang, ulang. Dasar kelas ngawur, menulis cerpen melingkar-lingkar di tempat kayak gak bisa lupakan mantan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun