Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jokowi dan Kompasiana; Sedikit Catatan Paska Makan Siang

21 Mei 2015   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya adalah salah satu kompasianer yang turut berbangga hati karena Kompasiana diundang makan siang oleh Jokowi. Dari tulisan kompasianer Niken Satyawati berjudul 2 Jam Bersama Presiden, saya melihat kesan bahwa Presiden Jokowi memang benar meluangkan waktu untuk membaca dinamika pemikiran yang bergulat di Kompasiana, khususnya tentang kepemimpinannya, sebagaimana selama ini beliau sampaikan juga kepada publik. Seorang presiden yang jelas super sibuk masih meluangkan waktu untuk membaca keluh kesah warga dalam ruang virtual adalah sinyalemen yang baik bagi demokrasi. Sayangnya, saya tidak membaca perkara apa saja yang didiskusikan dengan presiden Jokowi saat makan siang itu.

Tulisan kompasianer Niken dapat dibaca di sini. Untuk pelengkap dari reportase Mbak Niken, kita bisa baca "cerita dari sisi lain jamuan 2 jam itu" dalam tulisan Kompasianer Gatot Swandito di sini.

Namun, barangkali ada banyak dari kita, termasuk di Kompasiana, yang menuding pertemuan makan siang 2 jam pada 19 Mei 2015 itu adalah sebuah realisasi rasa terimakasih presiden Jokowi terhadap Kompasiana yang sudah secara politik gagasan terlibat untuk "membela beliau". Rasa terimakasih karena Kompasiana telah menjadi salah satu arena tarung gagasan yang ikut merekonstruksi citra positif mantan Gubernur DKI Jakarta ini dari serangan laskar-laskar virtual (virtual army) yang berseberangan atau bahkan membencinya habis-habisan. Dengan kata lain, Kompasiana adalah alat politik yang bekerja memperbesar “hegemoni” Jokowi di ruang virtual.

Pada titik curiga seperti ini, saya fikir tidak ada masalah. Perbedaan pandang terhadap kepemimpinan Jokowi justru harus dipelihara sejauh berhubungan dengan diskusi-diskusi kritis yang berlandas pada kepedulian akan nasib hidup berbangsa dan bukan karena melayani kebencian yang tiada tara lagi bandingnya. Selain itu, dalam perkembangan faktualnya, saya kira admin Kompasiana telah cukup bijak memberi bingkai aturan main juga “porsi layak tayang” dalam pertarungan gagasan yang mendukung dan menentang kepemimpinan Jokowi. Percaya saja, dan para admin juga jauh lebih faham, Kompasiana akan dibunuh warganya jika terbaca sudah bekerja sebagai tukang sapu kekuasaan, terlebih lagi kekuasaan yang gagal.

Saya juga merasa, dalam hubungan mesra Jokowi dan Kompasiana ini, kita yang berdiri dari “garis tengah” yakni tidak selalu pro atau terus menerus kontra, tidak perlu terlalu tegang menegang karena khawatir kepemimpinan Jokowi akan melakukan sejenis “kooptasi pikiran” terhadap rumah-rumah gagasan virtual. Dalam sejarah politik nasional, kita memang pernah mengalami satu era dimana mesin-mesin kooptasi dan korporatisasi pikiran bekerja demikian efektifnya.

Namun  di era digitalisasi demokrasi, tindakan seperti itu hanya akan menggali kuburan legitimasinya sendiri sebab sudah banyak kasus dimana kekuatan informasi dan dunia vitual iktu terlibat merontokan rezim politik yang tertutup. Presiden Jokowi, yang cukup memahami “kontribusi kekuatan-kekuatan digital dalam demokrasi” tidak akan menggunakan cara-cara yang kontraproduktif sekali pun memiliki interest yang sangat kuat untuk memperoleh dukungan yang kritis dan positif.

Yang kiranya jelas, dari undangan makan siang ini, bisa dikatakan, Kompasiana adalah salah satu kampung virtual dimana Presiden Jokowi sering sekali blusukan. Blusukan untuk menelisik keluhan, kritik, dan saran atas kepemimpinannya, termasuk juga, menelisik kebencian, kemarahan, kritik-kritik keras dan “kampanye penggulingan” dirinya. Blusukan untuk menemukan sejauhmana kepemimpinan politiknya telah memberi makna terhadap cita-cita kemerdekaan atau malah sebaliknya. Sebuah aksi blusukan yang tidak membutuhkan pengerahan pasukan pengawalnya.

Paska Makan Siang

Perjamuan makan siang Istana kepada Kompasiana adalah sebuah kehormatan. Kehormatan bahwa orang nomor satu di Republik ini memang memiliki perhatian terhadap dinamika pemikiran warga di Kompasiana sebagai salah satu sarana baginya untuk bercermin diri. Apalagi jika nanti presiden dapat hadir pada pertemuan kumpul tahunan Kompasianival, maka makin lengkapnya bentuk penghargaan terhadap Kompasiana.

Yang kiranya perlu dipertimbangkan adalah perkembangan sesudah makan siang itu. Secara filosofis, makan siang sejatnya adalah sebuah jeda atas keseharian yang sibuk. Ia juga sebuah jeda untuk mengisi kembali energi demi meneruskan hari dengan tenaga produktif yang sama. Jadi, sesudah makan siang, kita bukan melanjutkan tidur dan malas-malasan bukan ?.

Tantangan sesudah makan siang itu mungkin jauh lebih berat lagi. Salah satunya, tetap menjaga energi produktif agar terus tampil maksimal mengisi hari-hari berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun