Malam tak pernah pergi. Pekat pahit digenggamnya bersama sepi.
Sepasang kornea dengan kenangan retak, menatapnya. Mata yang berdarah.
Mata yang gagal melesap luka ke dalam mimpi. Mata yang sendiri.
Ia pernah merasa telah di batas mengabdi.
Bukan tak kuat ia merengkuh panasnya hati dikhianati kekasih.
Dan, monolog perih yang tak menyerah dikecupkan bibir itu di bibirnya.
Ia merasa makin tak mengerti, bagaimana lagi cara kesedihan
disamarkan bening tubuhnya. Menghilang dari mata itu.
Ia hanya bisa setia merelakan liangnya ditumpahi bisu airmata.
Ia hanya tahu, ketabahan sering bersembunyi dalam keheningan.
Yang membuat malam tak pernah pergi.
[April, 2017]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H