Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gelas

8 April 2017   01:21 Diperbarui: 8 April 2017   09:00 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Janson Hendryli

Malam tak pernah pergi. Pekat pahit digenggamnya bersama sepi.
Sepasang kornea dengan kenangan retak, menatapnya. Mata yang berdarah.
Mata yang gagal melesap luka ke dalam mimpi. Mata yang sendiri.

Ia pernah merasa telah di batas mengabdi.

Bukan tak kuat ia merengkuh panasnya hati dikhianati kekasih.
Dan, monolog perih yang tak menyerah dikecupkan bibir itu di bibirnya.
Ia merasa makin tak mengerti, bagaimana lagi cara kesedihan
disamarkan bening tubuhnya. Menghilang dari mata itu.

Ia hanya bisa setia merelakan liangnya ditumpahi bisu airmata.
Ia hanya tahu, ketabahan sering bersembunyi dalam keheningan.

Yang membuat malam tak pernah pergi.

[April, 2017]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun