“Jelek, aku gak suka!”
“Ini satu-satunya rumah yang layak, Mary.”
Mata setajam sorot elang itu masih menyala. Aku makin suka menatapnya. Maryanka memang selalu misterius dengan mata itu, kenangku.
“Layak untuk apa?”
“Bercinta.”
Bak, buk, bak, buk.Serbuan pukulan mendarat ke dadaku. Ah, manja yang biasa. Kecewa pura-pura. Aku terus meraih tubuh rampingnya.
“Rumah ini terlalu tua. Arsitekturnya juga kuno. Kau yakin kita akan baik-baik saja?” tanyanya dalam pelukku yang masih erat.
“Justru bagus. Kita bisa bebas berkreasi,” jawabku. Dingin.
Maryanka tersenyum. Di matanya, terlihat bengis menyala-nyala.
“Aku mau bikin kopi.”
Maryanka melepas peluk, berjalan pelan ke dapur. Ada meja kayu tua, tempat meletakkan belanjaan, dari ulin Kalimantan yang masih tegak berdiri. Juga sendok-sendok dan cangkir dari kayu. Dapur yang antik.