Apa yang akan dia kenang saat renta menjarah tubuh dan kemalangan merampok bahagia hampir tanpa ada sisa di ingatan?
Pertanyaan yang selalu menggenang di muak hatiku setiap melihat wajahnya yang menyamarkan kepiluan. Kepiluan yang ia samarkan lewat keriput yang terus serakah melukis gurat di wajah menghitamnya. Juga terlatih ia samarkan pada bungkuk tulang yang terus menginjak tegak dayanya menantang terik.
Satu-satunya yang membuat salut, di mataku, adalah tegarnya yang terus menolak menyerah. Tapi aku enggan mengakuinya.
“Walau hanya memungut sampah, jangan pernah berbohong dan mencuri!”
Tegasnya suatu ketika.
“Pemulung hanya jalan lain manusia untuk menghadapi hidup sementara. Jangan menggadaikan harga diri karena perut laparmu.”
Tambahnya lagi.
Sejujurnya aku sudah tak sudi menjadi saksi hidupnya.
Setiap pagi ketika ia sudah bersiap dengan baju kucel, sarat noda hitam, bau, juga topi capingnya, aku pasti memalingkan muka. Ketika ia pulang menjelang malam, aku akan pura-pura tak mendengar salamnya sebelum masuk. Aku tak suka.
Tak pernah aku bersetuju pada ketegaran yang dibenar-benarkan semulia itu. Bagiku pemulung hanya mulia di kitab-kitab suci. Tidak ada kemulian dunia untuk pemungut sampah. Pemulung tidak lebih dari manusia terbuang bersama sisa-sisa dan busuk. Apa bedanya dengan anjing dan kucing?
“Terus kalau tak jadi pemulung, aku mesti kerja apa?”