Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Kenikmatan di Balik 200 Kata

18 Maret 2016   08:27 Diperbarui: 18 Maret 2016   12:08 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap pengalaman mengolah kata selalu memiliki kenikmatannya sendiri-sendiri.

Demikianlah apa yang juga saya rasakan manakala berjibaku menyusun cerita sangat pendek, 200 kata, dalam rangkaian perayaan hari ulang tahun perdana Rumpies The Club yang sekarang sedang semarak. Saya menyebut berjibaku karena memang bukan proses yang mudah, bukan saja pada penyusunnya tetapi juga dalam posisi sebagai pembaca. Karenanya, dengan menggunakan rangsangan imajinatif dari lagu tertentu, misalnya, cerita 200 kata adalah juga panggilan terbuka menikmati perkawinan kata, imajinasi, dan makna “secara sederhana namun tidak sederhana”.

Saya tidak terlalu tahu asal usul riwayat cerpen 200 kata ini. Yang bisa saya ceritakan adalah pengalaman menggunakan tekniknya saja. Persisnya adalah dinamika proses diri di balik penyusunannya. Pengalaman yang mungkin tidak menarik bagi mereka yang sudah terbiasa, tapi bagi saya yang pemula, proses ini penting ditulis sebagai catatan untuk mengingatkan diri sendiri.

Hanya dua kenikmatan yang coba saya ceritakan. Semoga benar nikmat adanya.

Dua Kenikmatan di balik Cerita 200 kata

Pertama, dalam kasus terinspirasi lagu, yang saya rasakan: pertama kali yang wajib beres di posisi penutur adalah memaknai dunia batin yang membentuk lagu tertentu. Memaknai di sini bukan saja memahami susunan lirik secara harafiah dalam lagu tetapi juga menangkap pesan yang mungkin baru terbaca sesudah mendengarnya berulang kali. Dalam proses mendengar berulang dan mengendapkan pesan in, tafsir kita ada dunia batin di balik lagu bisa saja menuntun pada dimensi pengertian yang lain dan berbeda dengan bahasa harafiahnya.

Ambil misal saja, kasus saya. Dalam cerita 200 kata Lelaki Pembunuh Cahaya, saya mengambil lagu yang disenandungkan Iwan Fals. Salah satu penggal liriknya bertutur begini:

Aku disampingmu, begitu pasti

Yang tak kumengerti masih saja terasa sepi.
Matahari yang berangkat pulang,

tinggal jingga yang tersisa di jiwa

Kalau dibaca harafiah liriknya, yang segera terbayang adalah dua jiwa yang bersama dalam ikatan, dalam sesuatu yang sudah pasti. Bisa juga dimaknai jiwa-jiwa yang sudah saling mengerti dan memiliki pandangan yang sama tentang diri mereka masing-masing. Anehnya, masih saja terasa ada sepi. Sepi yang membuat yang pasti itu menjadi tidak berarti. Jiwa-jiwa yang bersama dan “sudah pasti” seharusnya tidak mengalami rasa sepi. Dalam lagu Mata Hati itu, yang pasti dipertentangkan dengan yang sepi. Ironis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun