Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dinamika Kesadaran Warga Di Balik Layanan Listrik Minimalis

28 Maret 2015   22:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14276052331653733637

[caption id="attachment_406177" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Tribunnews Jogja"][/caption]

Kurang lebih sebulan saya mengalami layanan listrik yang tidak konstan. Pernah satu masa, dua hari terang, sehari gelap. Lalu, yang mutakhir, sehari terang, sehari gelap. Lantas pada satu kesempatan, saya berbincang dengan penduduk desa. Ada banyak orang gerah, beberapa mengungkapkannya, yang lain lagi diam saja seperti menerima. Ada yang bilang lebih baik gelap seterusnya ketimbang gelap terang gelap terang. Sebabnya adalah kita dibuat berharap lalu tidak berharap.

Sehingga ada seloroh berhubungan dengan layanan listrik PLN yang sehari terang sehari gelap itu seperti "jatuh cinta dunia akhirat" pada seseorang yang hobby bikin gantung!. Tidak ada ketegasan disana, padahal seringkali simple aja : Iya atau Tidak, seperti lagu Iwan Fals. Seolah juga, dalam posisi jatuh cinta dunia akhirat tidak ada kemampuan kita untuk mengintervensi.

Seperti bandul yang berayun-ayun dan berhenti ketika energi geraknya berada di titik nol.

Persoalannya, manusia bukan bandul, kesadaran tak melulu mekanik lantas betah menunggu dalam ketidakpastian karena merasasudah begitu hukumnya.

Layanan listrik sehari gelap-sehari terang yang terpola bisa berkontribusi ikut membentuk kesadaran sehari-hari warga biasa yang sekiranya perlu diperhatikan .Pertama, adalah menjadi terbiasa dan menerima itu sebagai sesuatu yang memang sudah begitu, tak perlu protes!. Pikiran yang berenang dalam kolam keseharian memang mudah membuat kita menerima sehari-hari sebagai sesuatu yang sudah semestinya.

Lalu yangkedua, sesudah terbiasa dan menerima sebagai hal yang sudah begitu, lalu ruang batinnya mengaminkan kondisi sehari terang-sehari gelap sebagai bagian dari takdir hidupnya. Sebagai takdir hidupnya, maka kondisi seperti ini harus diterima dengan kesukarelaan menjalani. Pada konteks ini, keberterimaan terhadap kondisi dimaksud memiliki dimensi 'teologis'nya.

Point saya dari dua gambaran ini adalahsebagai warga negara biasa, kondisi-kondisi yang mencerminkan 'minimnya layanan publik yang berulang dan bertahun-tahun' dalam hidup sehari-hari bisa melahirkan sikap nrimo/menerima kondisi itu sebagai sesuatu yangsudah given. Pada tingkat ini, kita bisa melihat kehadiran kesadaran praktis, berhubungan dengan irama dan kebiasaan hidup sehari-hari yang terlanjur rutin.

Kita sering sekali bertemu dengan ekspresi-ekspresi kesadaran yang praktis ini. Sekali lagi, praktis disini karena ia bekerja seperti pengetahuan resep, berlangsung spontan seturut dengan kebiasaan.

Pikiran memang dikerangkakan oleh kondisi-kondisi sosialnya. Namun, sekali lagi, manusia bukan bandul yang berayun menurut hukum gerak yang tidak bisa diintervensinya!.

Pada moment lanjutannya, dalam keberulangan kondisi layanan publik yang minimalis tadi, saya menemukan pergerakan yang dinamis. Yakni gerak kesadaran warga biasa juga dapat saja mencapai "kondisi refleksif". Yakni kesadaran yang mulai gelisah dan memeriksa sebab-sebab yang melahirkan layanan minimalis tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun