Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Dari Dunia Anak untuk Kita

17 Mei 2015   10:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14318526461195494963

[caption id="attachment_418092" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - anak-anak sedang memainkan permainan tradisional (Kompas.com/SENDY ADITYA SAPUTRA)"][/caption]

Hari Minggu kali ini, matahari bersinar sumringah sekali.

Seorang kawan, pemuda desa menghubungi lewat handphone, “ Jadilah ke nikahan di RT 01?” begitu tanyanya. “Jadi Wal, tapi saya hendak menampung air dulu. Stomat ja,” jawab saya dengan dialek Banjar yang masih kaku-kaku malu gitu.

Maka mandilah saya, berganti sedikit rapi, dan berangkat ke pesta itu.

Sesampainya di sana, sudah ramai orang. Ada satu tenda besar dari terpal besar yang disiapkan untuk meja perjamuan. Di seberangnya, ada meja panjang berisi makanan yang sudah diletakkan dalam piring. Undangan tinggal mengambil piring dan makan di bawah tenda biru itu.

Di sebelah kanan dari tenda biru, ada panggung yang menghadap rumah divmana sepasang mempelai berbahagia duduk menunggu kunjungan tamu.

Saya dan kawan ini datang, mengambil piring berisi nasi, lalu makan di meja panjang. Ketika hendak mengisi amplop ke dalam kotak, saya melempar pandang ke panggung, penasaran sama dua hal. Pertama, di depan panggung, beberapa ornag tua sedang duduk menghadap panggung. Mengapa mereka duduk berjejer di sana? Dan, kedua, penasaran karena seperti apakah penampakan “artis” yang sedang berdendang diiringi organ tunggal itu hingga orang-orang tua itu betah duduk berjejer?

Tapi, yang bikin ketertarikan saya berhenti dan mematut diri di sana adalah rombongan anak-anak kecil yang duduk di atas panggung beratap terpal oranye. Anak-anak, mereka yang menikmati dendang musik tanpa harus pusing dengan selera berikut tafsir-tafsirnya. Anak-anak yang menggemari keramaian karena berjumpa dan berbagi ceria dengan sesamanya.

Anak-anak, yang baru saja diberitakan ditelantarkan oleh orang tua kandungnya sendiri. Anak-anak yang “gagal urus” dan jumlahnya masih banyak di Indonesia, bahkan setara dengan penduduk satu negara maju.

Saya terus ingat pada puisi berjudul “Anak Semesta” yang ditulis Kompasianer Rahab Ganendra. Bait-baitnya pendek dan langsung menunjuk hidung kita, jiwa-jiwa yang menuju tua.

Dari perjumpaan singkat di pesta nikahan yang sederhana dengan anak-anak serta “sengatan puitis” kawan Rahab Ganendra itu, saya merasa ada sedikit kisah yang mungkin bisa dibagikan menjadi pengingat, khususnya bagi diri pribadi.

Kapasitas Refleksif  Orang Dewasa

Setiap kita memiliki masa kecilnya sendiri-sendiri. Ada yang penuh kasih sayang kebahagiaan, ada yang penuh kebencian dan dendam. Ada yang penuh dengan keseharian yang bermain, ada yang hidup dengan keseharian kerja keras. Ada yang tumbuh dalam kondisi yang normal, ada yang bergulat dengan serbakekurangan.

Tapi, sebagai anak-anak, atau manusia yang “dilempar” oleh proses penciptaan, kita tidak pernah bisa memilih mau hidup pada kondisi seperti apa bukan?

Yang bisa kita lakukan, sebagai orang dewasa yang pernah menjadi anak-anak, adalah merefleksikan lagi pengalaman masa kecil itu, menemukan momen-momen di mana kita mengalami peristiwa-peristiwa yang di kemudian hari ternyata berdampak sangat besar.

Maksud saya, kemampuan refleksif sebagai orang dewasa inilah yang dapat menjadi pintu masuk untuk mencintai anak-anak. Benar bahwa ada pengalaman-pengalaman masa kecil yang getir di mana refleksi yang dilakukan bisa saja justru mengawetkan trauma psikis. Namun, dalam hemat saya, tantangan refleksif justru ada di situ, bukan karena kita tidak mau masuk ke dalam pengalaman traumatik sebagai anak-anak tadi, tetapi karena kita bertekad hendak membebaskan diri dari pengalaman traumatik tersebut.

Karena, kesadaran refleksif dalam dirinya adalah usaha subyek rasional untuk membebaskan diri, baik dari “sesat pikir”, “sesat justifikasi”, termasuk juga “bebas dari perangkap-perangkap traumatik masa kecil”.

Saya mungkin terkesan menyimplifikasi persoalan, tapi dalam keyakinan saya, bedanya orang dewasa dengan anak-anak adalah kemampuannya untuk merefleksikan pengalaman dan membebaskan diri dari kecenderungan hidup yang merusak kehidupan dengan sesama karena dorongan-dorongan negatif. Sedang anak-anak, yang mewakili eksistensi Homo Ludens (makhluk yang bermain) pada tingkat paling awal, tidak memiliki tantangan sedemikian.

Ketika kapasitas refleksif ini bekerja sebagai aparatus nalar yang membebaskan dan kecenderungan negatif-destruktif, maka orang dewasa secara “moral” sejatinya tidak akan menghancurkan dunia anak-anak, sebuah dunia yang pernah dilaluinya.

Mengalami Masa Kecil

Jadi, bagaimana sebenarnya contoh kongkrit dari penerapan kapasitas refleksif orang dewasa itu?

Mudah saja. Mari kita balik ke pengalaman masa kecil, kembali pada dunia anak-anak. Mengenali dan merasakan kembali rangkaian pengalaman-pengalaman indah maupun buruk, yang berkesan maupun yang harus dilupakan.

Coba ingat-ingat kembali. Masuki lagi serpihan-serpihan kenangan di dalamnya.

Lalu bertanyalah pada hati terdalam kita, apakah pengalaman masa kecil seperti itu harus diwarisi anak-anak hari ini? Manakah nilai-nilai pengalaman yang harus dibagikan kepada anak-anak hari ini? Yang manakah yang harus dibuang jauh-jauh dari anak-anak hari ini?

Lingkungan hidup seperti apa yang harus kita ciptakan agar jiwa-jiwa anak-anak yang “mudah meniru” itu bisa dimasuki nilai, sikap dan perilaku yang memekarkan jiwa-jiwa humanis mereka?

Saya berbagi satu kisah saja.

Dahulu, di Serui, Tanah Papua, pertengahan tahun 1980-an. Ada serombongan anak kecil yang pergi mengunjungi rumah-rumah di hari Natal. Rombongan anak itu bercampur jenis, ada yang anak Papua, ada yang anak bukan Papua. Mereka pergi membawa kantung plastik. Ada dua hal yang mereka cari, pertama, uang recehan, dan, minuman kaleng. Minuman kaleng adalah barang mewah kala itu.

Serui adalah kota pantai yang kecil, small city. Setiap ada pendatang yang baru, hampir seluruh penduduk kota akan mengetahuinya. Semua orang seperti saling kenal. Demikian juga anak-anak itu, walau tidak saling tahu nama, mereka saling tahu tempat tinggalnya masing-masing. Jumlah SD memang tak banyak di Kota Serui pertengahan tahun 80-an itu.

Ada satu rombongan atau “peziarah natal” yang pergi bertamu ke rumah dinas Bupati. Saat itu, Bupatinya adalah Bapak Drs. Laban Samori. Rombongan anak-anak ini sungguh-sungguh serius, mereka hendak ketemu Bapak Bupati, tidak ada negosiasi!

Karena itu, si penjaga mempersilahkan mereka duduk di teras belakang rumah. Rombongan yang lain biasanya begitu menerima minum kaleng, langsung balik kanan. Rombongan ini tidak, mereka memilih menunggu Bupati menerima mereka.

Hingga 3 jam menanti, tidak juga Bupati menerima rombongan yang sangat ingin menjabat tangan orang nomor satu di Kota Serui dan mengatakan, “ Selamat Natal Bapa Bupati.” Tunggu menunggu sampai jemu, mereka memutuskan pulang dengan jiwa polos yang uring-uringan.

Sebelum sampai ke rumah masing-masing, mereka melakukan rapat kecil untuk menghitung hasil perburuan dan merancang target untuk besok hari. Mereka lalu lupa, baru beberapa menit yang lalu uring-uringan.

Hingga sore menghantar salah satu anak pulang ke rumah.

“Assalamualaikum,” masuk ia dengan bergegas. Wajahnya capek, badannya lengket, sejak pagi keliling. “Waalaikumsalaam. Gimana, jadi ketemu Bapa Bupatikah?’ tanya Ibu sang anak sambil tersenyum. “Ah, Bapa Bupati payah. Masa kitong disuruh tunggu di belakang rumah. Kan kitong mau jabat tangan baru bilang Selamat Natal juga to!” gerutu anak itu sambil rebah di kursi tamu. Ibu anak itu menahan ketawa yang hendak membuncah.

Apa nilai-nilai yang bisa dipelajari dan dibagikan dari kisah masa kecil ini?

Silahkan Kompasianer yang budiman mengenang lagi masa kecilnya masing-masing, masa di mana dunia anak membagikan jenis kebahagiaan yang tidak adak pernah terulang di masa dewasa. Dunia orang dewasa adalah dunia yang hiruk-pikuk, sibuk, jenuh dan kehilangan keceriaan yang jujur.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun