Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Masa Lalu, Kota, dan Aku

6 Februari 2017   00:37 Diperbarui: 6 Februari 2017   15:56 1910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SkyscraperCity

Sebelum Kota atau Masa Lalu

Sebuah bentang archipelago, pesisir, pasir memanjang dengan gelombang yang setia, membawa udara asin pecah di paka-paka ombak. Senja yang selalu merah di garis batas cakrawala. Pada mulanya. 

Kemudian datang rombongan kecil, rombongan manusia dari kampung-kampung yang jauh, dari selatan. Mereka tiba dengan perahu dan kecemasan yang berharap bisa dihempaskan. Memelihara harap yang diperjuangkan agar tak mampus. Rombongan jiwa merdeka yang menolak tunduk pada perbudakan dan kebiadan perang. Mereka pergi dari amuk bajak laut sesudah runtuh berantakan raja-rajanya, sesudah datang armada laut dengan meriam-meriam besar yang memangsa siapa saja: tuan-tuan kolonial dari negeri di atas angin dengan keserakahan dan kehendak mengatur yang serba menyeluruh. 

Mereka membuat gubuk-gubuk dari batang kelapa dan nyiur, membuat perahu dan menjaga dirinya sebagai puak-puak pewaris tradisi maritim. Manusia-manusia yang selalu takjub pada laut, selalu bersyukur kepada leluhur. Bentang archipelago itu perlahan menjadi ramai, membentuk perkampungan, melahirkan kebersamaan, melindungi kehidupan baru. Kemudian datang pula saudara-saudara mereka dari garis puak yang bermukim di pantat bukit dan lembah-lembahnya. Puak-puak pewaris tradisi bercocok tanam yang selalu penasaran dengan senja megah yang jauh dari rumah-rumah panggung di ladang-ladang subur mereka. 

Dua tradisi bertemu, dua garis puak berjumpa. Maka tumbuhlah pasar, ruang pertukaran hasil dua kerja yang bersahaja, kerja manusia-manusia merdeka. 

Pasar juga adalah ruang bagi pertemuan rasa. Pasar membantu mereka saling jatuh cinta, lelaki nelayan dan anak perempuan petani. Perawan pesisir yang rajin dan pemuda tani yang tekun. Mereka bersatu sebagai keluarga baru, persilangan dua cara mencintai kehidupan. Kemudian bermunculan anak-anak, pelampung dari ban dalam bekas, dan tawa yang pecah sebelum bintang melukis langit di paka-paka ombak. Tuan-tuan kolonial dan raja-raja laut itu telah tinggal sejarah. Bajak laut telah ikut di dalam bab-babnya yang tak lagi dibaca.

Kakekku adalah anak-anak itu. Dialah yang menceritakan masa lalu leluhurnya kepada anak perempuannya, ibuku. Ibuku sesekali menceritakan kepadaku, terlebih ketika kami hanya punya bubur dan kuah mi instan. Dan hari-hari yang tak pernah beranjak jauh dari resah. Di waktu-waktu yang tak pernah sepi dari gundah. 

Kota, Masa Kini yang Entah Milik Siapa

Ibuku kini hampir 50 tahun umurnya. Ia pernah kerja sebagai buruh angkut di pasar hingga tulang pinggulnya bergeser dan dukun pijat di kampung menyarankannya agar berhenti dan memilih pekerjaan yang tidak membawa beban terlalu berat. Karena itu, kini ibu dan aku, memilih cara baru untuk sesekali terhindar dari bubur dan kuah mi instan itu. 

"Bagaimana kalau kita menjual pot bunga saja?" saranku suatu ketika.

"Memangnya kau mampu mengangkut pasir setiap hari? Tapi lebih dari itu, bagaimana memperoleh semen dan memiliki pecahan tehel sebagai hiasan dinding pot?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun