Barang siapa mengendalikan kenangan, dia bakal mengendalikan kebahagiaan.
Kau percaya itu. Kau menekankan dengan ngotot kepada Jimi, sahabat lama yang mendebatmu dengan sengit pada suatu sore. Di sebuah kafe.
Jimi tidak percaya ada keterhubungan yang menyambungkan sekarang dan yang akan datang dengan masa lalu. Baginya hidup adalah bagaimana menjadi lelaki di sini, di hari ini. Kekinian adalah koentji!
“Riwayat kebahagiaan manusia tidak memiliki pola yang tetap, demikian juga ketersesatan dalam kenangan menyedihkan, ia sesuatu yang tiba-tiba datang dari depan. Atau ia menyanderamu dari masa lalu lantas menghempaskanmu pada yang sekarang, hanya berpindah penyandera.”
“Kau harus jeli memilih dan berani menantang atau mengabaikannya. Kau harus punya pegangan dan setiap anak lelaki sudah dibekali itu sejak dalam rahim. Lelaki yang tersesat di jalan kenangannya sendiri lebih mirip sebuah olok-olok,” tegasnya.
Dan kau menghantamnya dengan kata-kata sakti di atas.
Sebenarnya agak samar di kepalamu, kata-kata itu dari mana. Entah dari Orwell atau Puzo, tidak terlalu penting. Mungkin saja dari Tohari, Pram, atau Rangkuti---apa pentingnya?
Kau hanya harus menyerang balik gagasan Jimi dengan menyitir habis ide tentang pengawasan yang sangat total. Ide yang pernah kau baca dari sebuah novel. Tapi seperti kata-kata sakti dari beribu tahun di belakang sebelum kelahiran puisi, ia telah juga samar di ingatanmu; siapakah yang menuliskannya?
“Tidak Jim. Ada pengaturan yang tak terbaca mata, yang mengontrol tubuh dan kesadaran kita, yang mendisiplinkan, agar selalu tunduk, taat. Masyarakat pendewa lelaki dan pihak berwenang menyebutnya sebagai norma-norma kepantasan, keluhuran perilaku, ketaatan pada tata krama. Daftar moral yang harus dilakukan sejak bangun pagi, sarapan, pergi memburu nafkah, pulang dan bermain dengan anak-anak hingga pergi bercinta. Daftar petunjuk yang mengklaim sebagai jalan merengkuh kebahagiaanmu,” katamu lebih terang, ”Tak jarang, apa yang menahan kita dalam kenangan adalah apa yang secara moral—dalam daftar petunjuk itu—tak boleh dilanggar. Maka dari itu, lelaki yang tersesat di jalan kenangannya adalah yang keluar dari kepantasan yang dikhotbahkan resep moral itu.”
“Apa hubungan kenangan yang sakit atau kegagalan yang traumatik dalam kontrol tubuh dan pikiran yang setotal itu, andaikan bisa dan pernah ada? Tidakkah hidup ini sederhana. Kerumitan hanya karena tafsir-tafsirnya?”
“Maksudku, ketersesatan dalam kenangan sejatinya adalah jalan, kondisi untuk pembebasan. Justru karena sesat tafsir, kita menerima penindasan kita sendiri, dari kita dan untuk kita,” tegasmu.