Saya tahu saya sudah terlambat dan banyak kesempatan terlewatkan. Karena saya memilih disibukkan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang--kau mungkin pernah mengalami juga--dengannya kesadaran menjadi lebih bersemangat menemukan hal-hal bermakna, pengalaman yang mendewasakan, cara pandang yang tidak tunggal: tentang dunia, orang-orang, masa lalu, kekinian, cinta dan penderitaan, tragedi dan humor, dan tentu saja, siapa saya.Â
Saya bicara tentang sastra. Penulis sastra tanah air, persisnya.Â
Tentulah ini bukan tulisan pertama tentang pegiat sastra tanah air. Sebelumnya saya pernah menulis kesaksian untuk daya puitika Joko Pinurbo (Jokpin) yang itu pun hanya sekelas catatan kaki dari teks utama yang membongkar kualitas puitika Jokpin buah permenungan Ignas Kleden, sosiologi beraliran rasionalisme-kritis yang menghantam tesis involusi mendiang Clifford Geertz.Â
Kau sudah menduga mengapa saya menyebut Jokpin dan Ignas Kleden? Bahkan Geertz dalam pembicaraan tentang kulitas karya sastra? Apakah saya sedang secara sengaja membawa nama-nama besar untuk menakut-nakuti atau membuatmu sudah terlanjur serius sementara yang tertulis hanyalah catatan omong kosong kelas kambing dan buang-buang waktu? Sabar sejenak, kesimpulanmu biarlah datang di belakang. Di kalimat terakhir tulisan ini.
M. Aan Mansyur. Dia penyair muda dari Sulawesi Selatan, kelahiran Bone, yang menggarap puisi di Ada Apa Dengan Cinta 2. Puisi berjudul Tak Ada New York Hari ini. Beberapa tahun yang lewat, saya pernah berkunjung ke Bone. Bodoh sekali, saat itu, saya belum mengenal karyanya.Â
Tapi saya tidak membahas 'Tak Ada New York'. Saya sudah ke Gramedia, menemukan buku itu di rak buku terbaru, membaca beberapa puisinya dan tidak membeli. Tidak ada "panggilan puitika" untuk membawanya ke rak buku, mungkin nanti, ketika kebanyakan kepala mulai lupa, saya berharap masih ingin membelinya. Dan masih dicetak ulang.
Sebaliknya, saya justru ingin menulis sedikit pandangan atas satu cerita pendeknya yang termuat dalam Kukila, Kumpulan Cerita (Gramedia Pustaka Utama; cet.II, 2013). Kumpulan cerita yang secara tidak sengaja saya temukan di toko buku Toga Mas, Yogyakarta, setahun lalu. Cerita itu berjudul Lima Pertanyaan Perihal Bakso.
Kau tentu tahu jika bakso adalah makanan yang popularitasnya sejajar dengan nasi goreng. Dengan pas, Aan menyebut bakso sebagai makanan nasional para anak muda. Tapi, tentu, dalam ceritanya, bakso tidaklah tentang makanan dalam dirinya. Bakso adalah kisah dunia manusia yang tidak sederhana.
Dalam teknik berkisahnya, cerita ini bergaya dialogial, memberi kesan dua orang yang bercakap-cakap dengan sudut pandang orang pertama, aku. Si Aku pusat yang bertutur, tutur yang dipicu oleh lima pertanyaan. Saya akan mencuplik pertanyaan dan penggal jawaban-jawaban menarik yang saya pilih. Artinya, jawaban si Aku di setiap pertanyaan tidak semuanya dimuat-ullang. Hanya jawaban-jawaban dengan tekanan yang khas. Yang menunjukkan di dalam cerita bakso, Â Aan sedang melukis dunia manusia yang rumit, tidak melulu asmara anak muda yang cinta-cintaan atau sedih-sedihan melulu.Â
Mari simak dialog itu sejenak.
Pertanyaan (1), Sejak kapan ada warung bakso di kota kabupaten ini? Jawab Aku: Kamu tahu saya tidak suka menghafal tanggal-bulan-tahun. Tanggal lahir ibu saya dan kamu adalah pengecualian. Angka-angka semacam itu selalu mengingatkan saya pada jumlah korban dan kesedihan-kesedihan.