Peristiwa Pertama.
Kakek itu berpakaian batik yang lusuh. Mungkin sudah lima tahun membalut tubuhnya yang makin kurus keriput. Di balik batiknya, ia menggunakan kaos tanpa kerah dengan garis merah. Kaos yang didapat dari iklan produk cat dinding. Celana panjang yang dipakai pun sudah lusuh, seperti bekas bungkus semen. Kakinya hanyalah dilindungi sendal jepit dengan bekas lumpur yang masih tebal di kukunya yang tak dipotong.Â
Ia berjongkok di pinggir tikungan jalan Sampit ke Palangka. Sambil melambai tangan berharap ada kendaraan yang berhenti dan sudi mengangkutnya pulang.
Mobil yang saya tumpangi hanya bermuatan empat orang dengan supirnya. Di kursi paling belakang kosong.
"Kita angkut saja kakek itu," kata Si Supir. Mobilnya diberhentikan tiba-tiba.
"Iyaa, dibawa saja. Kasihan kakek itu," sambung Si Ibu yang duduk di samping saya.Â
Mobil kemudian dimundurkan. Saya keluar dan membuka pintu, menjemput si kakek.
Kakek itu bergegas. Ia membawa memanggul sebuah lanjung (seperti bakul) yang isinya peralatan berladang. Saya tersenyum, dia juga.Â
"Tinggal di mana, Kek?" tanya saya. Kakek hanya tersenyum. Dia tidak bisa Bahasa Indonesia. Dia terus masuk dan duduk di bagian belakang. Mobil melaju lagi.Â
"Tinggal di mana pian, Kek?" tanya Si Ibu. Seperti kepada saya, kakek hanya tersenyum. Hanya tersisa gusi dan sorot mata yang ramah.Â
"Kakek ini tinggalnya sesudah Kereng. Saya tahu aja," kata si supir. Syukurlah, batin saya. Kereng adalah nama desa di kecamatan Katingan Hilir yang akan kami lewati. Jika sudah sampai di Kereng itu artinya sudah setengah perjalanan Sampit ke Palangka. Kereng juga merupakan daerah yang cukup ramai dengan aktivitas perdagangan warga.