Tulisan ini hanya sekedar catatan kecil tentang “ancaman”.
Bagi beberapa orang, sesudah membaca artikel Mas Susy Haryawan, apa yang dibahasnya itu mungkin perkara sepele, tidak perlu over-acting menanggapinya. Dan juga kalau kita baca dinamika tanggapan di obrolan tulisan itu, tampaknya ihwal ancaman pembajakan itu tidak perlu diperbesarluaskan-kali-tinggi lagi (?). Tapi biarkanlah saya melihat-tuliskan itu sebagai sesuatu pengalaman faktual untuk dikenang-kenangkan. Saya tidak bicara benar tidaknya, ada tidaknya ancaman. Saya bicara ancaman sebagai sebuah pengalaman psikis! [cieeeh, berdampak dalam nih yeee..]
Kebetulan akun saya juga adalah subyek yang terlibat dalam grup tersebut. Sebelum ada “ancaman pembajakan akun”, grup itu hanyalah ruang bercakap-cakap, kadang serius, lebih banyak ringan. Dan ketika nada ancaman itu datang, tiba-tiba saja suasana ringan itu terguncang, aroma cemas tetiba menyergap, haaap, seperti nyamuk yang asik kawin ditelan cicak!
Saya salah satunya yang tersergap kecemasan yang tiba-tiba. Dan langsung saja menge-klik : keluar dari obrolan? *apakah Anda yakin* Okee, yakin bangeet! Lalu : Oke. Saya merasa ketenangan dan kenyamanan itu terusik, artinya ancaman itu efektif meneror sisi paling dalam : kecemasan diri.
Mengapa saya cemas?
Setiap kita tidak memiliki rasa cemas yang sama dalam satu suasana terancam. Pada kasus “ancaman pembajakan akun”, saya bukan takut data pribadi diambil (emang mau ngambil apa juga?) atau takut karena keamanan Kompasiana yang rapuh dan membuat aksi-aksi pembajakan bisa leluasa menciptakan chaos bahkan collapse sistemik. Tidak, mula-mula pembangkit rasa cemas karena saya berhadapan dengan KETIDAKTAHUAN!
Ketidaktahuan yang saya maksudkan bukan berarti memandang remeh kemungkinan data pribadi dicuri, tulisan dihapus semua, atau akun digunakan untuk mempublis sesuatu yang menghancurkan nama baik misalnya. Juga tidak berarti saya memandang sebelah mata, jika benar itu pembajakan, bahwa sistem Kompasiana yang menjadi rumah besar banyak sudut pandang dan karya ini memiliki bolong serius.
Ketidaktahuan yang saya maksudkan adalah sebagai berikut :
Pertama, secara teknis IT, karena saya buta, ancaman tersebut segera saja melempar saya ke dalam semesta yang asing, melongsorkan rasa percaya, menghancurkan suasana nyaman dan aman yang terbentuk dalam rangkaian percakapan sebelumnya. Saya merasa ada bahaya yang juga ikut menyergap diam-diam, seperti berada dalam situasi chaos kerusuhan, tidak bisa membedakan mana yang kawan, mana yang ancaman.
Kedua,ketidaktahuan atas seluk beluk IT yang melempar saya dalam semesta yang asing itu juga secara efektif mematikan sikap kritis. Saya jadi kehilangan kemampuan berjarak dan memeriksa secara proporsional hal-hal tidak logis dari benar tidaknya ancaman tersebut. Matinya sikap kritis ini juga merawat “penjara kecemasan” yang makin kokoh menghujam ke dasar psikis.
Saya telah kalah berhadapan dengan ancaman. Saya hanyut dalam rasa cemas yang memang menjadi target dari ancaman.