Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak-anak dan Mata Air

15 Juli 2016   08:07 Diperbarui: 15 Juli 2016   10:00 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: floloveshobos.deviantart.com

“Cinta sejati itu seperti mata air.”

Saya pernah bilang begitu kepada Maudy, perempuan yang kini menjadi pacar saya. Tapi dia membantahnya.

“Mata air? Kau berpikir kita masih hidup di zaman kuno, zaman belum ada teknologi, belum melimpah populasi manusia dan belum ada ekonomi uang? Kau pikir air masih sesuatu yang perawan, tersembunyi di balik gunung dan lembah hijau yang sunyi? Hihihi, sungguh naif. Romantismemu terlalu lugu.”

Begitulah selalu ia membantah saya. Naif dan penganut romantisme nan lugu.

Padahal maksud saya tidak begitu. Bukan bahwa kita harus kembali kepada zaman kuno. Tapi bagaimana memahami air sebagai bagian yang penting dalam hidup manusia sejak zaman kuno. Periksa saja jejak peradaban-peradaban masa lalu, mereka pasti hidup dalam ketersediaan air yang cukup. Sekali pun mereka telah menemukan minyak atau bagaimana memanfaatkan angin, air tidak pernah menjadi nomor dua bukan?

Unsur utama, tidak pernah menjadi nomor dua. Ini yang seharusnya dimaknai Maudy dalam hubungan kita. Inilah cinta yang saya maksudkan itu. Maksud yang selalu gagal dipahami Maudy. Atau lebih persis, ia menolak menyetujuinya.

Maudy lain lagi pemaknaannya. Dia tidak suka memahami cinta dalam perlambang unsur-unsur dasar. Mencintai baginya adalah perburuan kegembiraan. Karena itu tidak perlu ada renungan-renungan, tidak perlu ada diskusi-diskusi penyamaan maksud.

“Mencintai itu bukan masuk sekolah baru sehingga harus dipaksa mengalami OSPEK dan sejenisnya,” katanya suatu ketika. Mendengar ini, saya jadi bingung.

“Mencintai itu seperti anak-anak PAUD. Pergi ke taman bermain dengan penuh kegembiraan, pulang dengan kegembiraan yang masih menggenang di mata. Tidak membawa PR matematika, fisika atau kimia yang membosankan itu. Hidup adalah petualangan bermain. Sederhana bukan?”

“Petualangan kegembiraan seperti anak-anak PAUD? Kau mau bilang karena itu tidak perlu ada komitmen? Mencintai tanpa komitmen, untuk apa?” bantah saya. Mendadak kesal. Ini kesia-siaan namanya.

Lho, jangan salah. Justru komitmen itu ada dalam gairah bermain, gairah bertualang, Don. Jangan samakan itu dengan mudah berpindah hati.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun