Di halaman sebuah blog, saya mengejar baris-baris puisi sepanjang malam, berusaha menangkapnya. Saya memang ingin mengandangkannya dalam kepala. Menguncinya di sana sambil memberi makan setiap hari dengan kesadaran yang sehening udara pagi. Tapi sia-sia, malam ini tak ada satu puisi yang tertangkap
Saya terus pergi ke teras sebuah akun Twitter. Teras yang juga sudah bersih. Tak ada satu puisi pun duduk bertengger di sana. Pemilik terasnya sudah lama mengunci pintu, ia sudah jarang menerima percakapan yang bertamu. Kata tetangganya, hanya sesekali membuka pintu untuk mengucap “haloo” pada kirim tautan yang diletakkan di depan jendela
Jadi saya balik lagi ke halaman blog yang tadi. Sudah subuh rupanya. Nafas saya masih terengah. Sambil telentang di tanah, saya memanggil tidur. Berharap akan bangun sebelum berbuka puasa.
Tetiba seorang lelaki ceking melangkahi tubuh telentang saya. Langkahnya ringan, seperti angin sesudah shalat Ashar: sejuknya merayu-rayu kantuk, melemas-lemas pikiran. Ia terus duduk di atas kepala saya lalu mulai membelah tengkorak belakang. Katanya dalam berbisik, “disinilah segala baris puisi dikandangkan”. Saya diam saja, seperti dibius berton-ton penenang.
Dari dalam tengkorak belakang, sembari memeriksa baris-baris puisi yang terkurung kandang-kandang ingatan, ia berujar, “baris Sapardi, baris Chairil Anwar, baris Rendra, baris Sitor Situmorang. Waah, wah, ada juga baris punya saya.” Terus saja begitu, sesekali ia tertawa kecil, entah senang, entah mengejek.
Saya takut sekali. Lelaki ceking ini siapa? Saya tidak bisa menoleh padanya. Ia masih duduk di atas kepala yang kini terkulai bersama cemas. Jika baris-baris itu dilepaskannya lagi, beberapa malam yang harus saya habiskan untuk menangkap mereka kembali? Mata saya mendadak basah, saya takut bercampur masgul.
Dalam lirih, saya memohon:
Tuan, tolong baris-baris puisi jangan kau lepas, kandang-kandangnya jangan turut ditebas. Saya sudah menghabiskan beratus malam membuat kandang dan mengikat puisi!
Lelaki ceking itu tidak bicara, ia sedang menjahit kembali otak belakang saya. Berdiri dan melangkah pergi, tiada menitip pesan apa-apa. Segera saya bangun dan mengejar langkahnya yang ringan. Di balik merah senja, tubuh cekingnya melenyap.
Saya merasa pernah mencari baris puisi di halaman blognya yang sudah sepi.