Sekarang ini, dengan kecerdasan artifisial, sebuah tema yang biasanya membutuhkan pembacaan terhadap beberapa referensi atau riset yang membutuhkan waktu, seolah bisa diringkas seketika.
Ditambah lagi, kecerdasan yang semacam ini konon bisa melakukan "peniruan" terhadap karya asli naskah puisi yang dikarang Joko Pinurbo, misalnya.
Pendek kata, kerja intelektual manusia yang metodis dan membutuhkan waktu seperti tidak relevan.
Jadi, apa yang menjadi muara dari sederet ilustrasi "tekno-sosiologi" di atas?
Kemarin sore, di saat menunggu berbuka puasa, saya bermain-main dengan ChatGPT. Sebagaimana pada kasus aplikasi tranposrtasi online dan mobile banking, ini adalah pengalaman pertama sesudah orang-orang berhenti heboh dengan yang satu ini.
Saya ingin mengecek sedalam apa kecerdasan artifisial ini memiliki cukup informasi tentang orang-orang tertentu. Maka saya mengetik nama sendiri. Lalu keluar keterangan yang menyesatkan.
Tidak berhenti di situ. Saya bahkan bilang kepadanya, sepertinya Anda salah. Yang sama maksud adalah saya yang menulis di Kompasiana.
ChatGPT meminta maaf dan masih menulis keterangan yang sama, tak banyak yang berubah. Bahwa saya adalah seorang sastrawan dengan kekhasan pada bla, bla, bla. Terlalu berlebihan.
Saya mengetik lagi sebuah nama dan muncul gambaran profil dengan yang diberikan tentang saya. Saya terus bilang, mengapa semua orang kamu golongkan sebagai sastrawan dan esais? Nama itu adalah nama anak saya.
Dan, seperti yang pertama, ia kembali meminta maaf tanpa memperbaiki deskripsi profil dari figur yang diminta.
Teman saya bilang, ChatGPT memang harus dilatih. Sistemnya akan tumbuh dalam latihan berulang. Prinsipnya seperti "growth mindset". Ia adalah entitas yang berkembang melalui usaha, pembelajaran, dan ketekunan.