Pada bagian Sunhaji kembali ke hidup sehari-hari inilah, ada beberapa hal yang menarik diperiksa dengan bertanya:
Mengapa Olok-olok Miftah Maulana kepada Sunhaji memicu Kemarahan?Â
Ada banyak sekali alasannya, tentu saja. Tapi saya ingin melukiskannya seperti berikut ini. Â
Sunhaji adalah pergulatan sehari-hari milik orang kecil yang seringkali jauh dari perhatian. Karena itu, Sunhaji tidak sendirian dan pergulatannya (menafkahi keluarga) juga bukan perkara yang dibicarakan kekuasaan.
Kecemasannya terhadap hari ini dan masa depan kebanyakan dipendam atau dibicarakan dengan keluarga saja. Saat bersamaan, dalam kesendiriaan yang banyak sekaligus tak dibicarakan ini, Sunhaji pertama-tama adalah isyarat dari negara yang absen.Â
Dalam situasi ketakhadiran politis ini, Sunhaji mewakili psikologi mereka yang butuh dirangkul, butuh di-manusawi-kan, diberikan dukungan melewati beratnya beban. Dengan kata lain, Sunhaji adalah basis sosial sekaligus moral dari alasan mendirikan bernegara (apa guna bernegara dengan kemiskinan yang merajalela?). Â
Di sisi yang sebaliknya, Sunhaji dan orang-orang kecil yang pergi ke pengajian, ibadah KKR, dan sebagainya, demi tetap menjaga keselarasan amaliyah di tengah hidup yang makin menggerogoti kewarasan. Dalam rombongan kecil, berduyun-duyun mereka pergi jauh-jauh demi mendengarkan ajaran firman yang meneduhkan.Â
Mereka tidak pergi ke tempat-tempat dimana keresahan dan kecemasan mereka dimutasi menjadi pemberontakan dan ekstrimisme. Mereka menjaga keharmonisan dengan cara yang tidak pernah dihitung oleh negara.
Jadi, akal sehat mana yang tidak tersinggung dengan kejadian yang menimpa Sunhaji?Â
Utusan Khusus Kekuasaan, demi apa? Insiden Sunhaji membuat orang banyak menggugat kepantasan Miftah Maulana Habiburrahman sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Agama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.Â
Bagi saya, masalahnya bukan pada kepantasan atau ketakpantasan seseorang ada di situ. Ada kesenjangan yang lebih mendasar dari fungsi utusan semacam itu.Â
Begini kira-kira gambarannya.