Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Pertanyaan Terakhir

5 Oktober 2024   09:30 Diperbarui: 5 Oktober 2024   16:06 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi persneling diinjak, gas dikendurkan. Sebuah motor berhenti.
Tok...tok..tok.
Tok..tok..tok.

Tak ada langkah kaki.
Tok...tok..tok.

Lampu masih padam, horden belum direntangkan. Jendela itu memang tak pernah dibuka. Tak banyak cahaya berpendaran.

Tak ada suara. Tak cukup tanda kalau ada yang sudah bangun di dalam.

Siapa yang mengetuk sepagi ini?
Hening saja. Tapi tidak ada yang berlalu, masih menunggu.

Suara langkah mendekati pintu dari dalam rumah. Kreek..kreek. Putaran kunci.
"Kak, maap nih. Bang Boy ada?" Perempuan, muda. Wajahnya bundar.

Wajah ini pernah sekali singgah ke sini. Siapanya Boy?
"Ooh, lagi ke kampung...Eh, ini apaan?"

Plastik hitam besar membungkus sebuah benda persegi. Disandarkan di dinding, sepertinya sudah bersiap balik kanan. Mungkin nanti akan menitip pesan saja--barang sudah diantar. 

"Oh iya. Ini speaker saya. Mau dititip di sini dulu, hehehe." Cengengesan.
 Diam sebentar. Dua tatap bertemu, penasaran dan berharap.

"Ya sudah, dimasukin saja."
"Baik Kak."

Speaker itu berpindah tempat. "Kak, saya balik dulu, ya."

"Oke. Boy mungkin baru balik sebentar sore."
"Iya, katanya sesudah asar. Hehehe." Cengengesan lagi.

Mengapa kamu seolah-olah begitu? Tapi kata-kata ini tidak keluar, tertahan oleh kecurigaan.
***

Tok..tok...tok...tok...tok..tok...
Lebih keras, kasar, tergesa-gesa. Tidak suka dibikin menunggu. Baru sepi sepuluh menit, siapa lagi?

"Buka pintunya!"

Lho, ada apa ini? 

Pintu dibuka lekas-lekas. Perempuan, matanya lelah. Rambutnya awut-awutan, seperti berjaga sepanjang hari. Bisa jadi dua atau tiga hari.

"Boy dimana?"
"Pulang..Kamu?" Kesal.

"Kamu yang siapa? Siapanya Boy kamu?"
Matanya mendidih. Aku orang kerja di sini, kenapa?--tapi lebih baik diam saja.

"Bangsat!" Mengumpat.
"Eh, bilang sama Boy, mau sampai di neraka, tetap akan kucari." 

Perempuan itu terus pergi.
***

Pintu dikunci. Naik ke lantai dua. Membuka jendela, menatap deretan genteng berwarna bata.
Sudah sebulan di sini. Sudah sebulan mengikuti Boy ke sini. 

Ini sudah sabtu keempat. Boy selalu pulang. Selalu ada saja yang datang, orang-orang yang berbeda-beda. Marah-marah atau cengengesan.

Orang-orang yang aneh. Boy yang aneh. Sambil mengusap perut.
***

Bulan ketiga. Pukul 08.30. Cuma menggunakan daster. Mual, sedikit pucat.

"Sejak kapan mengenal Boy?" Pria berkacamata. Dingin, fokus.
"Baru sebulan, Pak."

Orang berseragam di depan Acer. Mengetik. "Bohong."

Selembar foto ditunjukkan. Foto lama, mulai kecoklatan. Tapi wajah-wajah di sana tak berpudar.
"Ini kamu, kan?"

Selembar foto lagi. Ada tubuh tanpa kepala. Tato di bahu kiri. Telanjang. Perempuan.
Dua tatap beradu: Tajam penuh selidik dan gelisah.

"Boy tidak mungkin sendirian. Mungkin bukan Boy."
Selembar foto lagi, bukan yang terakhir. Perempuan lagi. Telanjang dengan wajah yang rusak.  

"Kamu kenal tubuh-tubuh ini?"
Sepi, tapi sebentar saja.

"Jangan-jangan...?" Tiba-tiba, terkejut.
"Heii! Dimana Boy. Kamu apakan Boy?"

Bukan pertanyaan terakhir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun