Pintu dikunci. Naik ke lantai dua. Membuka jendela, menatap deretan genteng berwarna bata.
Sudah sebulan di sini. Sudah sebulan mengikuti Boy ke sini.Â
Ini sudah sabtu keempat. Boy selalu pulang. Selalu ada saja yang datang, orang-orang yang berbeda-beda. Marah-marah atau cengengesan.
Orang-orang yang aneh. Boy yang aneh. Sambil mengusap perut.
***
Bulan ketiga. Pukul 08.30. Cuma menggunakan daster. Mual, sedikit pucat.
"Sejak kapan mengenal Boy?" Pria berkacamata. Dingin, fokus.
"Baru sebulan, Pak."
Orang berseragam di depan Acer. Mengetik. "Bohong."
Selembar foto ditunjukkan. Foto lama, mulai kecoklatan. Tapi wajah-wajah di sana tak berpudar.
"Ini kamu, kan?"
Selembar foto lagi. Ada tubuh tanpa kepala. Tato di bahu kiri. Telanjang. Perempuan.
Dua tatap beradu: Tajam penuh selidik dan gelisah.
"Boy tidak mungkin sendirian. Mungkin bukan Boy."
Selembar foto lagi, bukan yang terakhir. Perempuan lagi. Telanjang dengan wajah yang rusak. Â
"Kamu kenal tubuh-tubuh ini?"
Sepi, tapi sebentar saja.
"Jangan-jangan...?" Tiba-tiba, terkejut.
"Heii! Dimana Boy. Kamu apakan Boy?"