15 Oktober 2023, saya mengalami Manado untuk kesekiaan kali. Tentu saja ada banyak sekali hal berubah, akan berubah, atau berubah diam-diam--kompleksitas yang tidak mungkin dirangkum semuanya dalam sekali nafas. Â
Teluknya kini berkembang sebagai sirkuit kecil sebagaimana kota-kota di tempat lain. Geliat yang bersanding rapat dengan gang-gang sempit, pemukiman padat, dan sisa-sisa kehidupan nelayan.Â
Jejak "sisa-sisa ini" berada di bagian Utara yang sering disebut dengan Boulevard II, seolah mengingatkan bahwa yang sudah terjadi di Boulevard I akan berulang di sini.
Hal berulang tersebut adalah satu proses ekonomi dan politik yang panjang dari pemadatan (penguasaan) investasi yang mendorong reklamasi dan menjadikan lanskap pesisir teluk berubah sebagai kawasan komersil dan etalase bagi konsumsi dan kesenangan yang tidak selalu bisa diakses semua orang.Â
Walhasil, kota yang seperti ini condong membentuk watak ekslusioner.Â
Di Minggu pagi ini, dan yang saya lakukan, hanyalah sebentuk kecil dari mengalami Manado dalam modus kesenangan yang sepi dengan sedikit saja percakapan sosiologis. Modus tersebut adalah dengan menyelesaikan berlari 10 kilometer seorang diri.Â
Menyusuri Tepian dan Merekam Pikiran. Waktu baru memasuki jam 05.00 WITA, saya memulai dari depan Hotel Aryaduta. Menyusuri ruas jalan searah menuju jembatan Soekarno. Jembatan ini menyambungkan bagian Utara (atau dalam terminologi kolonial disebut dengan wilayah "Sabla Aer") dengan bagian tengah dari Teluk Manado.
Dari jembatan yang memiliki panjang 1,127 km dan pembangunannya menghabiskan anggaran Rp 300 miliar, kita boleh melihat kesibukan yang mulai riuh di Pasar Bersehati, buruh angkut pelabuhan. Sembari memandang Manado Tua dan Bunaken yang masih berselimuti kabut udara pagi.
Hanya ada sedikit orang yang mengambadikan gambar dirinya di atas jembatan itu, berbeda dengan di waktu menjelang senja. Jembatan yang pembangunannya terbengkalai hingga 12 tahun memang telah menjadi pusat dari keramaian kecil. Â Â Â