Juga, di beberapa tahun yang lalu dan masih di bandara yang sama, saya pernah mendapati coach Jacksen Tiago melintas di depan tempat duduk dimana saya menunggu. Tapi tetap tak ada permintaan yang keluar sekadar mengajak foto bersama.
Saya memang tidak terlalu mengidolai dua sosok itu. Tidak seperti terhadap Elie Aiboy. Walau begitu, kenangan atas kegagalan foto bersama membuat kesimpulan yang sama muncul di kepala.Â
Kayaknya, kali ini, dengan Elie Aiboy sepertinya bakal gagal lagi.
Tak dinyana, di sebuah sofa yang terletak di depan jalan menuju lift, Kaka Elie masih duduk dan menelepon seperti yang terjadi di ruang makan.
"Ayah mo ngajak foto tapi tidak sopan. Kita ke atas saja," kata saya.
Tapi istri saya menolak. "Tidak boleh begitu ayah. Kalau memang fans(nya), kita harus menunggu."
Wah, saya tidak punya energi yang seperti ini sebelumnya. Saya memandang Mahardika, dia hanya cengengesan. Okelah, kalau begitu.Â
Akhirnya kesempatan itu tiba. Kaka Elie tidak lagi menelpon. Saya kemudian bergegas ke sofa berwarna merah.Â
"Kaka, maaf, saya bisa minta foto, ka?"
Elie Aiboy langsung saja berdiri. "Boleh."
Jadi kami mula-mula berfoto berdua saja. Saya terus ingat di momen yang spesial ini, ada bocah lelaki yang belum menyadari bahwa sepak bola telah menyatukan banyak anak manusia di Tanah Papua.Â