Tidak ada percakapan lanjutan. Kaka Elie Aiboy masih terlihat sibuk menelepon.Â
Sesudah mengambil dua gelas jus jeruk, saya kembali ke meja di mana Mahardika dan ibunya berada. Saya kemudian mengambil makanan dan makan dengan pikiran yang gelisah.
"Bun, tadi ada Kaka Elie," kata saya kepada ibunya Mahardika.Â
"Siapa kaka Elie?"
"Kaka Elie itu pemain sepak bola hebat. Legenda hidup. Ayah sudah nge-fans ke dia sejak masih SMP di Jayapura. Kaka Elie itu kakak kelas, tapi dia sekolah di SMP Hamadi. Jadi, masih muridnya Opa Imam."Â
Mahardika yang sedang asik makan tiba-tiba memotong percakapan, "Kaka Elie itu fans-nya ayah? Kereen, ayah punya fans."
"Kebalik, de. Ayah yang ngefans sama Kaka Elie," kata saya.Â
Kami bertiga makan tanpa membahas lagi sejarah perjumpaan saya dengan Elie Aiboy. Masalahnya, di sepanjang sarapan, saya terlanjur berharap bisa mengabadikan gambar dengan idola sejak masa remaja itu.Â
Saya gelisah, terlebih ketika mengetahui sosok yang kini menjadi pelatih sudah meninggalkan ruang makan.Â
Bakal lewat lagi, nih. Batin saya lantas terkenang dua peristiwa yang berupa kebetulan.Â
Beberapa tahun yang lalu, di depan loket check-in Garuda, di Cengkareng, saya bertemu Fernando Pahabol, winger lincah yang juga menjadi pujaan pecinta Persipura. Saya ingin sekali mengajaknya foto berdua tapi tidak ada kata-kata yang keluar sementara jarak kami bahkan tak sampai 100 meter.Â