Minggu pagi, 15 Oktober 2023. Saya bergegas menuju ruang makan hotel Aryaduta yang terletak di lantai dasar.Â
Selain didesak rasa lapar karena baru saja menyelesaikan berlari sejauh 10 kilometer, Mahardika juga sudah meminta sarapan lebih awal. Dia sudah tak sabar bermain di kolam renang yang terletak di lantai 5.
Karena itu juga, saya tiba terlebih dahulu tiba di ruang makan yang relatif masih sepi.Â
Menatap ke bagian Barat, tempat dimana jus jeruk, infused water, dan air dingin berada, saya mengarahkan tujuan. Membayangkan perasan air jeruk membagikan kesegaran ke dalam tenggorokan adalah sensasi yang menyenangkan.
Selama berjalan, di sebuah meja yang berdekatan dengan deretan minuman itu, seorang pria duduk seorang diri. Sementara asik menelepon dan baru saja menyelesaikan sarapannya.Â
Saya menatap pria itu, bukan sosok yang asing. Tiba-tiba dada terasa berdesir, mendadak gugup.Â
Saya mengenal benar dengan wajahnya walau puluhan tahun berlalu. Wajah yang sudah menjadi idola sejak pertengahan 1990-an. Ketika masih remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Abepura, Distrik Heram, Jayapura. Wajah itu milik seorang putra Papua dengan bakat sepakbola yang menghibur sejak usia muda.
Berjalan setengah membungkuk--sebagai bentuk rasa hormat yang dalam--saya mengarah ke sosok tersebut.Â
"Kaka Eli, maaf. Saya juga dari Jayapura," kata saya sembari mengulurkan tangan dan tersenyum.Â
Entah mengapa mengungkapkan bahwa saya adalah seseorang yang memiliki latar belakang yang sama dengan dirinya begitu penting. Setidaknya, Kaka Elie segera menyambut dan menjabat erat tangan saya. Sedikit tersenyum tapi tidak berbicara.