Tapi, tidak ada yang lebih gila dari pikiran-pikiran kekuasaan.Â
Ia membuat sepak bola sebagai jalan pintas dari ambisi-ambisi yang menuntut prestasi tanpa perencanaan jangka panjang. Ia membuat sepak bola tidak lebih baik dari partai politik, yang ketika musimnya tiba, bisa mencomot orang-orang dari mana saja, demi bisa menang atau memenuhi syarat boleh bermain.Â
Lantas, bagaimana kita tidak curiga, pikiran-pikiran kekuasaan membuat organisasi olahraga seolah-olah kumpulan orang-orang yang transit untuk target politik yang lebih tinggi; sejenis organisasi kutu loncat belaka.
Celakanya, karena ia mengurusi salah satu sumber kegembiraan yang massal, ia menjadi bercampurbaur dengan segala macam tetek bengek nasionalisme, patriotisme, hingga isme-isme yang mengada-ada belaka.Â
Ironisnya, kita, sebagai bagian dari "yang massal" itu, dibikin kehilangan kemampuan dalam membedakan.Â
Bahwa di dalam nasionalisme yang meraung-raung itu, kekuasaan bisa menjadi monster yang mengerikan. Dalam patriotisme yang seharusnya tumbuh dalam perkara orang-orang biasa yang berjuang demi kehidupan yang lebih baik, kekuasaan membuatnya menjadi berwajah tunggal: hanya mereka yang mati-matian di medan perang yang patriotik.Â
Bahwa di dalam bangsa yang bertahun-tahun menyaksikan sepak bola yang terseok-seok di Asia Tenggara, ada kumpulan elite yang tidak berubah, bebal dan merasa diri berdiri di atas segalanya.
Dan, ketika musim suksesi tiba, lihatlah bagaimana pikiran-pikiran kekuasaan itu bekerja. Dia membuat pikiran jelata serasa tidak memiliki alternatif; persis para pendukung garis keras globalisasi neoliberal:Â There Is No Alternative!Â
Orang kuat yang habis obatnya masanya diganti orang kuat yang sedang tiba masanya. Lalu perhatikan para pesohor yang kini berbisnis sepak bola, sesudah menguasai infotainmeny atau merambah Youtube. Mereka mengitari orang tersebut seperti pasukan khusus di samping jendralnya.Â
Wahai! Seolah-olah ini semua adalah pertarungan antara sang mesiah vs durjana terkutuk.Â