Kita bangun pagi-pagi, seperti seminggu yang lalu. Kita bangun tengah hari seperti hari ini. Kita tidak ingin tidak bangun lagi, seperti mereka yang sudah mati.
Kita membaca puisi, menulis ingatan-ingatan, dan kita makin suka dibanting-banting sepi. Kita berjuang menjadi orang-orang bijak yang berjalan kedepan dengan menengok ke belakang.Â
Tapi kaki-kaki kita terlalu menderita berpisah dari dinding kaca, udara pendingin, dan tangga berjalan. Kita berdoa di mall, cathedral of modernism, dan bertengkar di rumah-rumah pengharapan. Kita sudah merantau ke sekolah, tapi pulang dengan pikiran yang kesepian.
Sesekali kita pergi ke pinggiran lembah, merekam ombak dan memikirkan tempat-tempat yang pernah kita lihat di televisi. Sedangkan televisi pergi ke pikiran kita, membaca yang tidak kita mengerti, dan memberi resep apa-apa yang kita cari. Mereka bilang orang-orang bekerja butuh healing.
Di waktu yang lain, kita main-main ke toko buku, dan meminta, "Mas, bahagia yang kocak hari ini, satu ya?" Mengunjungi toko kopi, dan memesan, "Kak, rindu paling rumit seminggu ini. Tanpa cream."Â
Atau pergi ke pasar, tapi hanya melihat cermin di mana-mana. Hingga di suatu hari, kita curiga ada orang lain di dalam diri sendiri.
***
(Tengah Desember 2022/Amban Pantai, Manokwari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H