Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Avatar 2: The Way of Water", Cerita dari Epos yang Kering

15 Desember 2022   22:22 Diperbarui: 16 Desember 2022   13:37 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar yang tidak penting. Pukul 16:20 waktu Indonesia bagian Papua Barat. Masih tersisa 20 menit lagi. 

Sembari menatap layar di belakang perempuan yang melayani pembelian tiket, "Avatar 2, Kak. Yang studio 3." Tentu saja memanggil "Kak" tidak bakalan menghapus kesan bapak-bapak muda yang keseringan keluar masuk perkampungan membawa tas. 

Di monitor pemantau kursi yang sudah terpesan, terlihat banyak kursi yang masih kosong. Jadi, saya memilih kursi B 13, deret kedua dari atas. 

Syukurlah, hari ini sepi melanglang buana, pikir saya. Tapi, sepertinya yang penting adalah tiga studio di Cinema XXI Manokwari memutar film yang saya pesan. Pukul 16.30, saya memutuskan masuk saja. 

Tak lama duduk, datang sepasang kekasih. Duduk di kursi 11 dan 12 B. Kursi masih banyak yang kosong, mengapa kalian mesti duduk di situ?

Beh!

***

Film Avatar 2: The Way of Water | Foto: Facebook Avatar via Kumparan
Film Avatar 2: The Way of Water | Foto: Facebook Avatar via Kumparan

Avatar 2: The Way of Water tidak semata kelanjutan cerita Avatar yang diproduksi tahun 2009. Tapi sosok sentral di balik film bergenre epic science fiction ini masihlah orang yang sama, James Cameron. 

Jika di film pertama, Cameron bekerj asama dengan John Landau, orang yang memproduseri Titanic, kali ini juga masih sama. Di Avatar edisi pertama, orang yang mengerjakan sinematografinya adalah Mauro Fiore. 

Maka di edisi anyar ini dikerjakan oleh Russell Carpenter--sosok di balik sinametografi Titanic (1997) dan mendapat piala Oscar karenanya. 

Dari sedikit nama-nama di atas, Avatar tahun 2009 berhasil meraih 9 nominasi Oscar dan memenangkan tiga kategori: Best Art Direction, Best Cinematography, dan Best Visual Effect. Jadi, apakah Avatar 2 bakalan menempuh jalan sukses yang sejajar?

Entahlah, saya tidak seyakin itu. Yang jelas Avatar 2: The Way of Water adalah kisah perlawanan dari suku-suku dengan lansekap laut (seascape) sebagai arena tarungnya.

Lantas, apakah perpindahan lansekap ini cukup berhasil? 

Apakah ia mengerjakan pengalaman sinematik yang lebih segar walau ide cerita masih berkutat dengan epos sepasang kekasih, Jake Sully dan Neytiri dalam melawan imperialisme bangsa dari atas langit? 

Pertanyaan di atas akan dibahas menurut keawaman selera milik saya. 

Menengok Masa Lalu Pandora. Kita tidak mungkin membicarakan yang kedua ini tanpa mengenang kisah di Avatar tahun 2009 lalu. Kita harus mengetahui jejak-jejak awal dari krisis ini. 

Pada mulanya adalah Pandora, sebuah ruang hidup yang merepresentasi peradaban suku penghuni hutan dengan kekayaan biodiversitas yang mengesankan. Ada pepohonan besar yang lebat, rapat dan gugusan karang yang gelantungan di angkasa. 

Ada banyak sekali jenis hewan purba, buas hingga tetumbuhan yang bisa mengeluarkan cahaya; seolah-olah kumpulan bintang yang dilahirkan dari dalam tanah. Pandora adalah surga kecil.

Kekayaan alam yang seperti itu dilengkapi oleh laku hidup suku Na'vi, indigenous people-nya Pandora. Manusia Na'vi memiliki kearifan dan laku hidup yang masih menjaga kepatuhan kepada dunia leluhur, tempat dimana mereka mencari jawab atas krisis dan masa depan. 

Di sana, ada juga semacam pohon arwah yang memungkinkan kesadaran mereka yang masih hidup tersambung ke dunia jiwa-jiwa yang sudah meninggal. Kearifan hidup seperti ini menjaga harmoni masa lalu dengan hari ini sekaligus menjadikan hutan sebagai pusat kehidupan.

Kita bisa juga membayangkan Pandora sebagai kehidupan di mana waktu, kebutuhan, dan kesadaran manusia belum ditunggalkan kedalam citra diri Homo Economicus.

Lantas datang kolonialisme dari Negeri di atas Langit. Bersama sains, teknologi, dan ambisi militeris yang selalu saja melahirkan prahara, pembantaian, dan pemusnahan. Hutan yang menjadi pusat hidup di Pandora seketika dibikin berantakan oleh agresi manusia dari atas langit ini. Tapi tidak dengan kapasitas suku Na'vi untuk melawan. 

Uniknya, sang pemimpin kharismatik mereka, sang Toruk Makto, adalah Jake Sully, si pembelot yang jatuh cinta kepada Neytiri, prajurit perempuan yang perkasa.

Karena itu, di Avatar 2009, ideologi perlawanan orang-orang Na'vi ditampilkan dalam dosis tertentu mesianisme. Jake Sully, Neytiri, dan orang-orang Na'vi akhirnya bertahan melewati badai. 

Kolonialisme sejenak berhenti. 


The Way of Water: Perlawanan Lintas Suku. Sesudah satu dekade, Jake Sully dan Neytiri sudah menjadi orang tua dengan empat anak yang tumbuh memasuki masa remaja. Tiga anak biologisnya adalah Netayam, Lo'ak, dan Tuk. 

Serta satu gadis remaja yang diadopsi bernama Kiri. Lalu ada seorang remaja lagi, anak manusia yang lahir di Pandora, bernama Spider. Mereka bahagia dan Pandora kembali menjadi rumah yang tenang. 

Si vis pacem, para bellum! Bila kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.

Perang selalu mengincar, bedanya kali ini langsung tertuju pada keluarga Sully-Neytiri. Sully tidak ingin mengorbankan lagi orang-orang Na'vi. Ia tahu persis watak bangsa-bangsa dari atas langit yang gemar memadukan teknologi perang dengan dendam. 

Maka, Sully melakukan migrasi beserta seluruh keluarganya. Pergi jauh dari hutan demi mencari perlindungan kepada suku laut. 

Dia diterima tanpa banyak syarat karena dihormati sebagai Toruk Makto yang mengalahkan agresi bangsa dari atas langit. Dia diterima Suku Metkayina yang dipimpin Tonowari.

Lantas dengan sedikit adaptasi budaya dan perilaku, keluarga yang sekarang berstatus diaspora Na'vi ini mulai mengembangkan identitas barunya sebagai suku laut.

Peperangan akhirnya pecah dan didorong motif dendam dari Miles Quaritch--ayah Spider--panglima perang yang terbunuh dalam Perang Pandora. Wujudnya kini dalam bentuk Avatar, karena itu memiliki kemampuan yang sama dengan orang Na'vi maupun Metkayina. 

Perang ini dimenangkan dengan tumbal kematian Netayam. The end. 

Catatan. Film karya James Cameron yang kedua ini membuat saya baru bisa meninggalkan bangku bioskop di pukul 20.00 WIT. Mengetahui saya menghabiskan waktu selama itu, sesungguhnya karena apa? 

Saya kira, karena The Way of Water membutuhkan durasi yang lama karena mengelaborasi satu tema yang bukan perang. Atau drama kehilangan yang mengharu biru. Lalu, tema apa itu?

Tema yang paling memakan waktu itu adalah kelamaan melukiskan keindahan bawah laut. 

Dari aneka rupa makhluk hidup yang lebih menyerupai kehidupan di masa purba-pra sejarah bersama kearifan hidup Suku Metkayina. Dalam hidup selaras itu, kita melihat ikatan batin (dalam konsep persaudaraan ruh) di antara orang-orang laut dengan ikan Tulkun. 

Kita jadi teringat jika di Nusantara, kisah persaudaraan manusia dengan hewan juga hidup dalam masyarakat suku tertentu. 

Masalahnya adalah kehidupan laut yang dicitrakan tenang, bersahaja dan bersahabat itu tidak cukup menciptakan imajinasi yang lebih menyentuh dari semesta yang harus dilindungi. Ini bukan karena secara teknis dikerjakan dengan buruk. 

Dunia bawah laut yang dilukiskan Avatar 2 adalah semesta yang sangat indah namun secara filosofi tidak cukup menampilkan keterikatan eksistensial yang kuat. Dibandingkan kehidupan di Pandora, dunia sosial orang-orang Metkayina terasa datar. 

Di Pandora, menyatunya irama hidup generasi hari ini, dunia ruh, hutan yang perawan sebagai makrokosmos yang teratur begitu terasa kuat.

Karena itu juga, ketika perang melanda Pandora, kita tidak semata melihat kerusakan dahsyat dari barbarisme yang diproduksi oleh sains, militerisme, dan kolonialisme-kapitalisme. Kita juga dibawa menjumpai "kengerian yang lebih radikal". 

Sebab menyaksikan peradaban luhur yang terancam musnah dan betapa jahatnya menjadi modern. Hanya dengan ketegangan semacam ini, kemunculan sosok mesianistik lewat Toruk Makto terasa begitu epik.

Bagi saya, The Way of Water tidak cukup gigih menampilkan epos yang sejajar. Toruk Makto atau Jack Sully dan keluarganya hanya terlihat sebagai pelarian yang memindahkan marabahaya dari Pandora ke Metkayina lalu kehilangan anak lelaki tertuanya.

Ditambah lagi, belum lama berselang, kepala penonton sudah bertamasya ke dunia laut serupa di Black Panter: Wakanda Forever. Dunia yang ditampilkan lewat peradaban Talokan, dipimpin seorang mutan bernama Namor yang berjuang melawan kepunahan.

Avatar 2: The Way of Water terasa sebagai epos yang kering. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun