Di Pandora, menyatunya irama hidup generasi hari ini, dunia ruh, hutan yang perawan sebagai makrokosmos yang teratur begitu terasa kuat.
Karena itu juga, ketika perang melanda Pandora, kita tidak semata melihat kerusakan dahsyat dari barbarisme yang diproduksi oleh sains, militerisme, dan kolonialisme-kapitalisme. Kita juga dibawa menjumpai "kengerian yang lebih radikal".Â
Sebab menyaksikan peradaban luhur yang terancam musnah dan betapa jahatnya menjadi modern. Hanya dengan ketegangan semacam ini, kemunculan sosok mesianistik lewat Toruk Makto terasa begitu epik.
Bagi saya, The Way of Water tidak cukup gigih menampilkan epos yang sejajar. Toruk Makto atau Jack Sully dan keluarganya hanya terlihat sebagai pelarian yang memindahkan marabahaya dari Pandora ke Metkayina lalu kehilangan anak lelaki tertuanya.
Ditambah lagi, belum lama berselang, kepala penonton sudah bertamasya ke dunia laut serupa di Black Panter: Wakanda Forever. Dunia yang ditampilkan lewat peradaban Talokan, dipimpin seorang mutan bernama Namor yang berjuang melawan kepunahan.
Avatar 2: The Way of Water terasa sebagai epos yang kering.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H