Dia diterima tanpa banyak syarat karena dihormati sebagai Toruk Makto yang mengalahkan agresi bangsa dari atas langit. Dia diterima Suku Metkayina yang dipimpin Tonowari.
Lantas dengan sedikit adaptasi budaya dan perilaku, keluarga yang sekarang berstatus diaspora Na'vi ini mulai mengembangkan identitas barunya sebagai suku laut.
Peperangan akhirnya pecah dan didorong motif dendam dari Miles Quaritch--ayah Spider--panglima perang yang terbunuh dalam Perang Pandora. Wujudnya kini dalam bentuk Avatar, karena itu memiliki kemampuan yang sama dengan orang Na'vi maupun Metkayina.Â
Perang ini dimenangkan dengan tumbal kematian Netayam. The end.Â
Catatan. Film karya James Cameron yang kedua ini membuat saya baru bisa meninggalkan bangku bioskop di pukul 20.00 WIT. Mengetahui saya menghabiskan waktu selama itu, sesungguhnya karena apa?Â
Saya kira, karena The Way of Water membutuhkan durasi yang lama karena mengelaborasi satu tema yang bukan perang. Atau drama kehilangan yang mengharu biru. Lalu, tema apa itu?
Tema yang paling memakan waktu itu adalah kelamaan melukiskan keindahan bawah laut.Â
Dari aneka rupa makhluk hidup yang lebih menyerupai kehidupan di masa purba-pra sejarah bersama kearifan hidup Suku Metkayina. Dalam hidup selaras itu, kita melihat ikatan batin (dalam konsep persaudaraan ruh) di antara orang-orang laut dengan ikan Tulkun.Â
Kita jadi teringat jika di Nusantara, kisah persaudaraan manusia dengan hewan juga hidup dalam masyarakat suku tertentu.Â
Masalahnya adalah kehidupan laut yang dicitrakan tenang, bersahaja dan bersahabat itu tidak cukup menciptakan imajinasi yang lebih menyentuh dari semesta yang harus dilindungi. Ini bukan karena secara teknis dikerjakan dengan buruk.Â
Dunia bawah laut yang dilukiskan Avatar 2 adalah semesta yang sangat indah namun secara filosofi tidak cukup menampilkan keterikatan eksistensial yang kuat. Dibandingkan kehidupan di Pandora, dunia sosial orang-orang Metkayina terasa datar.Â