Pasalnya adalah Albiceleste memainkan sepak bola yang makin berkembang ke level lebih baik sesudah fase grup. Kepercayaan diri mereka ikut membaik. Game plan mereka memang tidak berubah drastis namun revisinya efektif.Â
Revisi yang dipilih adalah mendorong optimalisasinya sembari mengelola keseimbangan yang lebih dinamis.Â
Solusi yang dimulai dengan perubahan komposisi starting eleven. Scaloni menempuh alternatif dengan memainkan Julian Alvares, Enzo Fernandez, dan Alexis Mac Allister sejak awal.Â
Dampaknya segera terasa. Argentina yang menyerang lagi mengendalikan bekerja lebih bervariasi. Tiga bakat muda ini seketika menggeser Di Maria, Lautaro Martinez, Papu Gomez hingga Paredes.
Maka dari itu, momen bertemu Belanda di perempat final adalah tantangan mengelola kontinuitas progres. Momen menjaga keberlanjutan dialektis.
So, apa yang bisa dibaca sesuai Messi, dkk berhasil melampaui antitesis Belanda-van Gaal?
Argentina masih bergulat dengan persoalan laten yaitu menjaga stabilitas paska-unggul dalam gol. Mereka menunjukan retak yang sama sejak bertemu Arab Saudi. Bedanya, kualitas Belanda melahirkan drama yang lebih spektakuler lagi.Â
Sudah unggul dua gol hingga menit ke-82, Argentina yang mestinya tinggal menjaga pertahanan malah dua kali kebobolan dan menjalani adu penalti. Mereka tidak boleh mengalami kondisi berulang kala bertemu Kroasia.
Menemukan solusi retakan stabilitas paska-unggul adalah tantangan menjadi yang mesti dituntaskan.Â
Sejauh ini, melihat Luka Modric dan kawan-kawan (bermain) adalah menikmati sistem yang solid. Mereka menunjukan kematangan kolektif di atas rata-rata. Walau tanpa eksplosivitas dalam menyerang seperti Perancis, namun sangat stabil meredam gaya seperti milik Belgia, Jepang, dan Brasil.Â
Kroasia juga memiliki head-to-head yang bagus dengan Argentina. Di Piala Dunia 2018, mereka menghancurkan Messi, dkk dengan skor telak 3:0 di fase grup.