Yang paling menonjol adalah adegan yang menunjukan energi dari kegilaan dan brutalitas seorang Lloyd Hansen. Energi yang mana dihidupi oleh gairahnya akan penghancuran yang total. Gairah khas seorang sosiopat yang mengerikan.Â
Kengerian (sekaligus kekonyolannya) tergambar ketika pasukan elite yang dimobilisirnya gagal menghabisi Six lalu tinggal menyisakan Praha yang berantakan, Lloyd baru menelepon seorang agen yang berasal dari Tamil.Â
Seorang diri, si agen non-Barat ini berhasil merampas file tersebut dari tangan Six dan Dani lewat perkelahian tangan kosong.Â
Peristiwa perburuan Praha yang gagal ini bahkan dikomentari rekan perempuannya, yang juga cantik, ambisius, dan lagi-lagi alumnus Harvard, sebagai peristiwa pengambilahan aset paling memalukan sepanjang sejarah dan akan diajarkan di buku pelajaran sekolah.Â
Kita terus disadarkan, tentu bukan pertama kalinya, bahwa sosok seperti Lloyd Hansen adalah kegilaan yang eksis.Â
Dirinya adalah refleksi dari kekuasaan intelijen yang megalomania, menikmati kekejian tiada tara, dan bersembunyi di ruang-ruang dingin, bersama sumber daya berlimpah, dan ambisi akan kepatuhan yang total atau penghancuran yang sama.
Sebuah citra diri khas yang merasa harus menjadi adidaya, bukan? Itulah mengapa The Gray Man terasa usang namun masih perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H