Dia tidak pergi ke tempat sepi,
mencari senja, menghitung kenangan atau membuat puisi.
Dia juga tidak pergi ke pesta, berteriak dan meninggalkan dirinya yang sedih
pada sebuah botol penuh alkohol.
Dia tidak kemana-mana.
Perempuan itu tidak ingin lagi bersamanya. Dengan alasan yang sesungguhnya sia-sia. Tapi bukan karena perempuan itu. Sebaliknya, semua karena dirinya sendiri. Dia alpa pada hal-hal yang tak cukup dengan warming-up.
Dia berpikir, sesudah menyelesaikan tahun-tahun di bangku kuliah lalu tinggal mengurusi ijazah, maka cintanya kini ditantang menyiapkan diri secara serius. Salah satunya, dia harus memiliki pekerjaan; setidak melakukan sesuatu yang memberinya rupiah.Â
Dia merasa telah berhasil memeluk jarak, ketiadaan jumpa dan doa-doa--walau sesungguhnya hanya bentang dua titik yang berbeda propinsi di sebuah pulau--serta rasa rindu dan sesak nafas. Semua itu hanya bakal bermakna jika mereka akhirnya hidup bersama, memiliki penerus, dan mengalami masa semenjana dari sebuah kamar yang ikut menjadi tua.
Dia tak menduga, menjadi guru penjaskes dengan ijazah dari sebuah kampus negeri bukan alasan yang membuat asmaranya jauh dari pergumulan getir. Dia hanya tahu itu tak pernah cukup. Ijazahnya tidak membuat mencintai dan patah hari lebih sederhana dari kompetisi.
Dia merasa kosong. Dia belajar berhenti pada sebuah lagu.
Dia hanya ingin berlari kedalam rasa sakitnya, serupa pelari yang tidak ingin disebut kalah.
Tapi pelan-pelan saja. Seperti para pelari maraton. Hanya lelah di batas paling siap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H