Alasan pertama. Kamu mengalami masa remaja di kota kecil. Sekali-kali kamu merasa kesal sebab menjadi bagian dari ketertinggalan. Tapi dalam kebanyakan situasi, kamu justru bersyukur. Dalam ketertinggalan itu kamu menjadi "manusia udik".Â
Apa itu manusia udik?Â
Orang-orang cenderung menyebutmu kampungan, norak, ndeso atau mangkage. Kamu memiliki problem adaptasi dengan ruang sehari-hari urban. Kamu bahkan tiba-tiba dihajar mabuk saat keluar dari lift. Atau hampir terjengkang saat berada di eskalator. Mereka tidak tahu, diam-diam kamu menyembunyikan keringat dingin. Â
Walau begitu, udikisme mungkin bisa kamu mengerti lebih positif. Kalau bukan "anarkis". Seperti apa wujudnya?
Selayaknya manusia yang selalu menyiapkan kecurigaan terhadap segala rupa yang disebut sebagai kehidupan urban yang kemilau, penuh fasilitas dan kesenangan. Manusia yang selalu merasa mesti ada yang disembunyikan dari gemerlap urbanisme sebagai gaya hidup itu.Â
Pendek kata, dalam keudikanmu, selalu tersedia sedikit dosis skeptisisme terhadap yang disebut kemajuan dan pembangunan (kota). Tapi kita tidak membicarakan bagian ini, hehehe.
Kedua, walau itu kota kecil, Jayapura namanya, kamu sudah bergaul dengan kebiasaan berolahraga.Â
Di kotamu, selalu ada anak-anak bermain bola. Entah di tanah lapang, halaman sekolah, parkiran masjid, parkiran ruko yang kosong hingga di pinggir lapangan sepak bola. Tapi kamu ingin mencoba pengalaman baru.Â
Maka kamu memilih menjadi bagian dari klub basket. Namanya Flying Wheel. Beberapa sahabatmu ada di sini dan berkembang sebagai pemain inti. Sedang kamu tidak.Â
Melakukan lay up shooting saja kamu sering salah langkah. Lebih sering bolanya hanya memantul di papan. Lebih parah lagi, kamu pernah diduelkan dengan kelompok perempuan. Dan kalah!
Bagian selanjutnya sebaiknya dimengerti sebagai jalan panjang perubahan.Â
Alasan ketiga, kamu terlanjur mencintai basket. Jadi kamu tetap harus memiliki sepatu walau tak berbakat sama sekali. Jadi kamu merengek kepada ibumu.Â
Kamu ingin sekali memiliki Eagle atau setidaknya Kasogi. Tidak usah sekelas Nike atau Adidas yang harganya selangit.Â
Tapi ibumu hanya bisa memberikan sepatu di pasar yang mereknya terdengar seperti nama sebuah band. Sepatu yang hanya bertahan 3 bulan sebelum tapaknya terlepas dan menganga.
Menjelang setahun di klub basket--kamu tetap membayar iuran dan setia latihan walau bakatmu tak berkembang!!--kamu mulai berpikir untuk fokus saja ke sepak bola. Jadi kamu terus mendaftar ke klub sepak bola amatir dan tidak terdaftar resmi. Saat itu juga tak ada kompetisi usia remaja.Â
Alasan keempat, kamu memutuskan untuk fokus. Akan tetapi alasannya bukan karena mengacu pada wasiat Warren Buffet yang pernah berpesan di era campur baur begini perkuat lingkaran kompetensimu.Â
Dengan sepak bola, kamu merasa kemampuanmu berkembang. Masalahnya masih sama, kamu juga tak memiliki sepatu yang pantas. Maka kamu pergi menemui Om-mu, seorang guru olahraga SMA. Dia masih menyimpan sepatu adidas angkatan Franz Beckenbauer. Seluruhnya terbuat dari kulit dan mulai mengeras.Â
Kamu mencobanya. Ukurannya pas tapi menyakitkan karena kaku dan bentuknya telah menyerupai kaki milik tuan sebelumnya. Tapi kamu kadung jatuh cinta. Maka dengan Adidas warisan, kamu memulai latihan walau tak pernah bisa masuk Persipura junior.Â
Lama berlalu, kamu tak memiliki kebiasaan berolahraga lagi yang khusus. Kamu tidak pernah lagi "bermasalah dengan sepatu".
Hingga nasib menuntunmu tiba di jenis pinggiran yang lain. Di hadapan sungai dan hutan gambut. Alasan kelima: Sebuah gaya hidup sedang dipopulerkan. Berlari namanya. Tahun 2018.
Kamu berpikir dengan masa lalu di klub basket dan sekolah sepak bola amatir-tidak-resmi, ada modalitas yang memudahkan untuk adaptasi. Di asumsimu, mencapai 5 kilometer adalah perkara remeh. Kamu hanya perlu mengaktivasi otot-ototmu saja.
Amat Victoria Curam!!
Seluruh asumsimu terkait modalitas dari masa lalu itu bullshits belaka. Hanya mereka yang tekun terlatih yang akan menang.Â
Alasan keenam. Maka kamu harus memulai lagi dari nol. Seperti cerita di Berlari, "Healthism dan Cerita Seorang Amatir. Lagi dan lagi, kamu tak memiliki sepatu yang layak. Untung saja di Sampit, ada jejaring babebo yang menjual sepatu bermerek bekas.
Karena itu kamu bisa memulai lari dengan sepatu bekas kaki orang lain, seperti Adidas generasi Franz Beckenbauer. Selain harganya miring, tapaknya masih nyaman. Walau bentuknya sudah kaku.
Kamu terus berlari dengan sepatu bekas itu. Seringkali harus menderita keram-keram karena bentuknya yang tak selaras dengan bentuk kakimu. Tapi menyerah hanya akan jadi pilihan yang tak layak kamu ceritakan di masa depan.Â
Kamu harus tetap berkibar-kibar walau lebih banyak sibuk dengan pasang surut sendiri.Â
Setidaknya ini lebih baik dari pada ramai baliho politisi yang mengotori pemandangan kota dan kebanyakan orang tidak peduli siapa yang ada di sana! Ini bisa jadi alasanmu yang ketujuh. Ups.
Sesekali, kalau sedang dipanggil ke Bogor, kamu tetap berlari. Terutama di sekitar kebun raya Bogor. Dengan sepatu bekas dan sepatu pinjaman jenis Brooks yang keseringan dianggurin.Â
Hingga nasib bekerja di pinggiran kembali membawamu ke Sumatera Selatan. Hati kecilmu gembira. Perjalananmu dari timur telah tiba di Barat. Perjalanan yang membuat "udikisme" masih menyala-nyala.Â
Kemudian, pada suatu sore, kamu main-main ke Kambang Iwak. Taman kecil dengan kolam di tengahnya yang memiliki lintasan untuk berlari.Â
Wah, ada banyak manusia yang memilih mengeluarkan keringat di lintasannya yang tak panjang. Apa yang sudah dimulai di Kalimantan, hendaknya berlanjut di sini. Ini alasanmu yang kedelapan.
Masalahnya, lagi, lagi. Kamu tak punya sepatu yang pantas. Apakah jaringan babebo (: barang bekas bos) juga tersedia di Palembang?Â
Tentu saja jauh lebih banyak. Pergi saja ke Cinde, dari sempak hingga sepatu bekas impor tersedia. Hmm.Â
Sesudah setahun berlalu, kamu berpikir untuk lebih menyenangkan sepasang kaki yang pernah terkapar di hutan gambut ketika kebakaran hutan sedang berada di puncaknya.Â
Kamu ingin lebih menghargai kaki-kakimu yang sudah menemani melangkahkan harap dari Jayapura hingga ke sini. Mereka memiliki hak untuk diperlakukan dengan menyenangkan. Ini alasanmu yang kesembilan.
So, kamu terus pergi ke sebuah mall bersama seorang kawan, seorang bikers. Kalian baru saja menerima bonus yang tidak wajib dikirim ke rumah. Â
Dia menuntunmu ke gerai New Balance. Kamu hanya tahu jika nama itu terhubung dengan Liverpool. Kamu memilih warna putih, mencobanya, dan merasa nyaman. Bersamaan ada diskon--tentu saja harus ada pertolongan diskon!--lalu membayarnya.Â
Sekarang kamu punya sepatu yang bukan warisan. Entah karena barang bekas impor. Entah karena milik Om yang ingin menyenangkanmu.Â
Tahun 2019. Di Palembang, kamu memulai riwayat dengan sepatu baru. Sepatu yang menjadi akhir dari sejarah barang bekas. Tapi di Palembang bukan semata kota yang menandai "keterputusan historis dari sepatu babebo".Â
Di Palembang, di Cinde tepatnya, kamu juga mulai mengoleksi pakain-pakaian bermerek bekas yang nyaman diajak berlari.Â
Setahun di sini, kamu hampir tak melewatkan berlari di setiap minggu. Tentu saja sesekali pergi menyantap pindang gabus yang lezat di samping kantor Walikota.Â
Kamu kemudian memiliki alasan yang kesepuluh.Â
Mulai terbit perasaan dengan outfit yang mulai mendekati para pelari yang serius, kamu juga semestinya bersungguh-sungguh. Malu sama diri sendiri jika gagah-gagahanmu hanya mengulang omong kosong mulut kekuasaan di kasus yang lain, hehehe. Â
Kemudian pandemi covid-19 diumumkan. Kamu sedang di pinggiran Yogyakarta dan membawa sepatu ini berlari di sekitar alun-alun Kulonprogo. Dimana tempat kamu datangi, kamu berharap bisa berlari dan mengabadikannya di Strava.
Kamu sadar jika jiwamu memiliki dosis narsisme yang cukup.Â
Kamu selalu ingin menandai setiap kota yang kamu datangi dengan berlari lalu merekam statistiknya. Kemudian membagikannya di sosial media. Tapi bukankah ini lebih baik dari pada kekuasaan yang bertutur kata santun tapi keji dalam menggusur? Eh.
Pandemi memaksa dunia berhenti sebentar. Membuat globalisme mengalami jeda. Membuatmu menyadari jika dua tahun dalam berlarian adalah sebuah modalitas fisikal yang keren. Tubuhmu jauh lebih bugar walau bukan jaminan terbebas dari serangannya.Â
Tapi barangkali berkah dari pandemi adalah kamu memiliki waktu yang lebih banyak di rumah. Waktu yang tidak kamu miliki karena sedang menghabiskan masa cuti pekerjaan. Berlari adalah salah satu cara mengenali lingkungan sekitar. Lingkungan yang sejuk di bawah kaki gunung Klabat.
Dan kamu terus berlalu sepanjang tahun dengan sepatu yang kini memasuki usia menjelang dua tahun. Warnanya masih putih walau agak memudar. Tapaknya mulai miring karena terkikis aspal.
Lantas pagi barusan, kamu berlari sejauh 5 kilometer. Menyusuri jalan lingkar yang tersambung ke pintu masuk tol Airmadidi. Seperti biasanya.
Tiba-tiba, kamu merasa ada yang janggal. Ada yang sepertinya terlepas. Jangan-jangan?
Sepatumu memang sudah aus. Hampir 3 tahun ia menemani tekadmu melayan inkonsistensi. Tekadmu untuk tetap berlari sekalipun untuk dikenang-kenang sendiri. Tak ikut lomba, tak ingin jadi pemenang.Â
Kamu harus memiliki penggantinya. Itulah mengapa kamu harus menabung lagi. Inilah alasanmu mencintai sepatu yang keduabelas.
Mari berjuang memiliki sepatu baru wahai Kamu: Diriku yang lebih banyak diam!
Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H