Kebanyakan telinga mungkin akan menyebut Yogyakarta sebagai yang terbaik dari KLa. Bahkan, cuma KLa saja yang bisa menyanyikan lagu itu dengan pantas. Ketika dinyanyikan Ungu, misalnya, lagu yang meraup tiga penghargaan BASF Award di tahun 1991 ini kehilangan marwahnya.
Tapi Yogya hanyalah salah satu saja. Sebab ini masih Januari yang basah, saya hanya ingin mengenang tiga lagu yang daya puitiknya menjadi alasan mengapa dia boleh memberi dimensi lain dari pengalaman mendengarkan musik.Â
Pertama, Meski Tlah Jauh.
Meski Tlah Jauh dihidupi dari pembukaan lirik yang seketika mengikat suasana kedalam kondisi ketakberdayaan dan penantian.Â
Kadang angan
Terbang jauh ke awan
Rasa rindu kian menawan
Dingin dan kelam
Remukkanku di dalamÂ
Bayangkan saja kamu dipenjara kerinduan, dingin dan kelam. Pelan dan pasti dimakan remuk. Sementara kamu tak bisa pergi dari angan-angan. Ada kisah kasih yang megah di sana dan rasa bersalah. Situasi batin yang ditegaskan di baris berikutnya:
Kadang murung
Meluap tak terbendung
Rasa sesal semakin mengurung
Sejak kau pergi
Berlari dan menangisÂ
Kamu dalam keteremukan diri yang dingin lagi kelam itu tak bisa lagi menyalin rupa. Kemurungan meluap di wajah, tak bisa lagi disamarkan. Penderitaanmu kini begitu telanjang oleh kepergian yang mungkin kau sia-siakan. Lalu, segala kehancuran disempurnakan rasa sesal yang mendekati total. Kau makin celaka dengan segenap kemalangan yang kau ciptakan sendiri. Dia telah pergi, berlari dengan membawa tangis!
Mampus, mampuslah kau ditikam sepi- Chairil Anwar.
Lihatlah, betapa kesedihan, sesal, kemurungan dan pengharapan itu begitu indah dipadatkan dalam kata-kata? Tidakkah ini hanya mungkin terjadi oleh daya puitika "tingkat busyeet dah"? Masih ragu dengan kesenduan tingkat dewa dari Meski Tlah Jauh? Dengarkan saja tautan videonya di atas sana.
Kedua, Gerimis. Kekasih, andai saja kau mengerti.