Tadi malam, kita menelan nasib di angkringan.
Kau mengenang bagaimana bisa terdampar di masa tua, berjuang jadi manusia.
Sesekali hampir putus asa, dekat sekali dengan sia-sia.
Kampungmu di ujung ingat sana,
di samping pantun lama dan bau asin pepatah purba.
Terus aku tiba, segalanya seperti akan berubah.
Aku diasuh oleh nasib yang hampir sama.
Tidakkah nasib adalah berkuda di masa perang?
Sesekali saja gagah. Lalu tumbang dan dikenang-kenang.
Saat malam mekar di kepala, matamu memutar sejarah.
Mengapa orang-orang bersekolah,
susah sekali bahagia?
Ibu orang-orang bersekolah adalah negara,
Kampus menjadi bapaknya. Kota adalah kekasihnya.
Kampus dan cita-cita, duet paling berbahaya
yang merasa berhak melatih orang agar tabah
atau terbiasa bersembunyi dalam kata-kata, “Bahagia bukan jalan mudah. Ia terjal lagi ngota.”
Sudah begini hidup zaman merdeka, bung!-kataku tiba-tiba.
Kita masih ingin memastikan, "Setiap Kegagalan berhak Bahagia!"
walau kau makin curiga itu hanya slogan di halaman
sebuah senja dengan mata perempuan
berwarna merah; dia baru saja dikutuk karena drama 12 babak dari Korea.
Besok malam, kita akan makan nasib di angkringan
dan berbicara sebagai sepasang petani terakhir di ujung kota.