Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kuala Kapuas, Kisah Jumpa Pinggiran

9 Oktober 2020   13:06 Diperbarui: 10 Oktober 2020   05:12 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah/ Dokumentasi Pribadi.

8 September, saya tiba di bandara Tjilik Riwut, Kalimantan Tengah. 

Lalu dengan jasa travel menempuh perjalanan darat sekitar 140-an kilometer atau sekitar 3 jam ke Kabupaten Kuala Kapuas. Salah satu kabupaten yang disebut sebagai "Kota Air" karena merupakan perjumpaan dari tiga aliran sungai. 

Tiba menjelang pukul 15.00, tidak banyak jejak ruang yang bisa direkam. Baru pada tanggal 10, pada suatu lari pagi, kota ini tiba-tiba saja menghadirkan apa yang saya rindukan bertahun lama. Bukan sebatas tempat namun juga riwayat.

Saya adalah manusia dari kota kecil. Ke-mikroskopik-an saya, katakanlah begitu, dibentuk oleh pengalaman dan penghayatan akan realitas pinggiran yang intens. Apa yang disebut pinggiran selalu mengandaikan adanya pusat, antara "core" dan "periphery" walaupun dalam faktualitasnya selalu relatif kalau bukan tumpangtindih. 

Jadi saya ingin menggunakan pengertian pinggiran seperti berikut ini.

Pertama, bisa jadi karena letaknya yang jauh dari pusat (jika kita membayangkan ada sebuah pusat yang serba mengatur dan memproduksi angan-angan) maka pinggiran itu tidak mengkondisikan warganya adu cepat dalam produksi angan-angan dan tertib pengaturan. 

Kedua, karena itu, pinggiran bisa jadi ada ruang hidup yang belum dibentuk oleh kompleksitas fungsi, persaingan dan keinginan-keinginan yang tidak selalu bergandeng tangan; level anonimitas sosialnya mungkin masih rendah. 

Ketiga, bisa jadi juga di ruang pinggiran apa yang disebut sebagai "kepecundangan" bagi mereka yang kalah/tak beruntung/tersisih dari mekanisme konsumsi kolektif urban, belumlah tergolong daftar yang meresahkan. Walau tak seburuk Schindler's list.  

Sederhananya, realitas (di) pinggiran bukan soal tiadanya benturan, miskinnya angan-angan dan situasi hampa pengaturan. Realitas pinggiran adalah keberadaan orang-orang yang masih menjaga dirinya dari tindakan saling memaksa, secara simbolik ataupun tidak. Sekurang-kurangnya, karena ruang yang kecil itu, orang-orang masih saling mengenal, baku-baku sayang, baku-baku jaga.  

Singkat kata, di Kuala Kapuas, saya mengalami perjumpaan pinggiran yang biru. 

Perjumpaan Biru di Pinggiran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun