Kau mengambil selembar kertas. Membacanya dengan gemetar di setiap kereta yang bergegas.Â
"Aku tidak tahu mesti bagaimana. Aku kini merayakan keabadian dan segala kesedihan yang kelak menyempurnakannya bersamamu."
Perempuan itu, pada suatu senja pergi karena alasan yang hanya membuatmu tertanam pada penyesalan. Tanpa pernah bisa tercerabut lagi.Â
Kalian berkelahi, sebagaimana pasangan yang memimpikan bahagia namun dengan cara yang berseberangan.Â
"Aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu!"
"Mengapa tidak?"
"Sebab memang tidak mungkin. Kau aneh. Ngotot seperti bocah saja!"
"Ya, ketakutan akan kehilanganmu tidak pernah membuatku menjadi lebih baik dari seorang bocah. Harus selalu dituruti, dimengerti, dijadikan nomor satu."
"Tapi, permintaan itu terlalu bodoh untuk membuktikan jika tidak ada lagi yang kita bagi selain kau dan aku."
Mutia. Itu kalimat terakhir yang menandai puncak kemarahannya. Kau tidak melakukan apa-apa dan membiarkan langkahnya yang marah tak berbalik arah.Â
Mutia pergi dan hanya kesenyapan sesekali diserta dengus nafas memburu milikmu. 27 menit terakhir sebelum kereta membawa petaka.Â